Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendekonstruksi Agama Lewat Politik Kebencian

29 November 2018   13:03 Diperbarui: 29 November 2018   13:12 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini, politik kebencian telah mendekonstruksi agama bahkan tak berlebihan jika sesungguhnya merekalah yang disebut kitab suci sebagai "para pendusta agama". Bagaimana tidak, ketika agama mengajarkan harus berkasih sayang dengan sesama, saling menasihati dalam soal kebajikan, peduli kepada yang lemah dan kurang beruntung untuk membantu menaikkan derajatnya, justru sengaja dilupakan dan dibutakan oleh kenyataan perebutan kekuasaan. "Araitalladzi yukadzdzibu biddin?" (Tahukan engkau siapa yang mendustakan agama?). Ayat pertama dari surat al-Ma'un dalam al-Quran ini seakan menyindir mereka yang mengaku tahu agama, tetapi justru mendustakannya.   

Beberapa kondisi disebutkan dalam surat diatas yang termasuk kategori pendusta agama, dan salah satunya adalah "mereka yang gemar berbuat riya (ingin dilihat hebat oleh orang lain)". Saya kira, publik dapat lebih jeli menilai, siapa saja orang yang memang selalu ingin dilihat hebat, dikelilingi banyak pengikut, otoriter, sehingga mereka bangga dan justru kebanggaannya melampaui batas, dengan mencaci, menghina, dan merendahkan orang lain. 

Mereka lupa, bahwa agama yang semestinya masuk kedalam jiwa menjadi ajaran-ajaran moral, teladan untuk kebaikan umat, malah dipertontonkan sedemikian buruk karena terobsesi kenyataan politik. Agama dalam hal ini didustakan, bahkan diposisikan sangat rendah karena digadaikan demi kepentingan politik.

Tak pantas rasanya, ketika mereka yang mengaku memegang teguh prinsip adat ketimuran, terlebih dianggap sebagai "begawan" keagamaan dengan memikul sederet identitas sosial-keagamaan yang diakui masyarakat, lalu mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakiti perasaan orang lain. Yang lebih mengerikan, pernyataan-pernyataan negatif ini justru terlontar disebuah kegiatan keagamaan yang semestinya dapat membuat suasana lebih sejuk karena kegiatan seperti ini jelas membawa nilai-nilai kedamaian bagi para pendengarnya. 

Politik kebencian yang belakang merasuki banyak orang, justru seringkai mendekonstruksi nilai-nilai agama yang sekadar diperjuangkan demi nafsu kepentingan politik, bukan memperjuangkan kemaslahatan dan kebaikan bersama demi tujuan-tujuan politik yang lebih bermartabat dan berwibawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun