Hiruk pikuk jagat politik jelang Pilpres 2019 hampir tak pernah sepi, dari soal narasi nyinyir yang saling serang, saling menjatuhkan citra lawan politik dan membongkar keburukan-keburukannya, dan yang lebih parah muculnya sederet tokoh agama yang yang juga ikut terjerumus dalam kubangan politik kebencian.Â
Politik tampaknya tak sebatas soal perebutan kekuasaan, namun banyak orang yang tak paham politik, justru ingin tampil lebih dikenal diatas panggung. Politik juga tak sekadar soal menang-kalah, karena itu hal lumrah.Â
Ekspektasi publik terhadap situasi politik, kerap dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk kepentingan popularitas pribadi, tak peduli walaupun harus menabrak berbagai macam aturan, nilai-nilai sosial-keagamaan, atau bahkan mereduksi nilai-nilai kebaikan politik itu sendiri.
Fenomena politik belakangan cenderung lebih sensitif, bahkan jika sensitivitas itu dapat diukur, tampaknya sudah melewati batas kewajaran yang biasa terjadi dalam ranah politik di negara manapun. Mungkin baru pertama terjadi dalam sejarah Indonesia, ada orang yang berduel di jalanan hingga salah satunya tewas, hanya gara-gara soal perbedaan pandangan pilihan politik.Â
Gelaran kontestasi itu belum juga dimulai, namun getaran dan daya tariknya sudah sangat dirasakan, bahkan sudah sejak lama. Getaran itu berupa rasa tidak suka, kebencian, atau kekhawatiran yang seringkali diaktualisasikan lewat narasi-narasi negatif yang kadang sekadar bentuk reaktif atau spontanitas atas bentuk keterhinaan, kesombongan, ketidaksukaan, atau apapun yang dianggap kontraproduktif dalam suatu realitas sosial-politik. Â
Kemunculan dua kandidat yang akan maju meramaikan kontestasi, hampir selalu dicitrakan negatif oleh masing-masing kubu rivalnya. Bukan tidak mungkin, media sebagai agen politik dalam hal memberikan informasi berimbang kepada khalayak, seringkali tunduk pada kenyataan politik: menjadi pendukung atau penolak salah satu kandidat.Â
Netralitas hampir diragukan adanya dalam era kontestasi kali ini, kecuali "bias" yang semakin tampak sehingga memperparah kondisi kepolitikan belakangan ini. Lebih menggelikan lagi, ketika tiba-tiba ekspresi keagamaan menyeruak menjadi alasan keyakinan yang memberangus segala kebaikan politik, seolah-olah mendukung atau menolak salah satu kandidat berdampak pada nilai-nilai keagamaan yang dianut masyarakat.
Politik yang semestinya dapat lebih menyederhanakan nilai etika dan estetika dalam berdemokrasi, justru semakin diperumit oleh faktor keyakinan agama yang semakin mempertentangkannya. Anehnya, mereka yang dianggap para begawan keagamaan rupanya tak nyaman berada di menara gading, turun gunung dan ikut dalam berbagai atraksi politik yang kadang menakutkan. Jika sebelumnya para begawan ini dikenal sebagai penyampai nilai-nilai sosial dan moral, justru berubah total hanya karena ingin dikenal sebagai pejuang politik-kekuasaan.Â
Mereka tunduk pada kenyataan politik dan harus secara total menghambakan dirinya pada kekuasaan. Nilai-nilai agama yang penuh dengan kebajikan, dimanipulasi hanya sekadar meluapkan keinginannya eksis di dunia politik.
Soal kalah-menang dalam kontestasi politik memang harus diperjuangkan dengan segala macam cara, termasuk bagaimana memanfaatkan narasi agama atau isu-isu keagamaan tertentu agar mampu menarik simpati banyak pihak. Politik seringkali tanpa disadari menjatuhkan martabat siapapun, terlebih mereka-mereka yang dianggap sebagai tokoh agama.Â
Identitas "keulamaan" atau "kehabiban" mungkin saja luntur dari diri seseorang, hanya karena terlampau jauh mengikuti alur "keras" ekspektasi politik. Sayang, jika gelar keulamaan atau kehabiban yang lebih tinggi martabatnya ditengah masyarakat karena itu gelar sosial, lalu harus terjun ke titik terendah, menjadi bahan hinaan dan cacian masyarakat bawah.