Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Belajar dari Kasus Meliana

1 November 2018   10:50 Diperbarui: 1 November 2018   16:08 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keputusan Pengadilan Tinggi Medan yang menolak banding Meliana atas kasus penistaan agama karena mengkritik volime azan, tentu dapat menjadi pelajaran hidup bagi kita. Sebuah bangsa yang multikultur, multietnik, dan multiagama seperti di Indonesia, harus dapat saling menghargai, bertoleransi, dan mengedepankan etika sosial-keberagamaan. Saya pribadi tidak melihat pada soal kritik Meliana atas volume azan yang diungkapkan dengan nada kebencian kepada umat muslim, namun pada efek vibrasi lainnya yang lebih besar, terjadi kericuhan dan pembakaran yang menyasar rumah ibadah agama lainnya. Padahal, jika didisukusikan dan dimusyawarahkan secara baik-baik, mungkin saja kegaduhan yang disulut oleh kritikan Meliana terhadap toa masjid ini bisa dapat diantisipasi bahkan mungkin tak perlu terjadi.

Saya kira, di berbagai daerah di Indonesia, sudah ada semacam wadah komunikasi antarumat beragama yang disediakan sebagai saluran aspirasi antarumat beragama dalam menjaga sinergitas sosial-keagamaan yang berfungsi sebagai pencegah konflik. 

Adalah Forum Komunikasi antarUmat Beragama (FKUB) dapat menjadi wadah komunikasi yang dapat meredam berbagai gesekan kepentingan keagamaan yang ada di tengah masyarakat. Seseorang yang merasa "terganggu" akibat kegiatan keagamaan tertetu, dapat melaporkan dan mendiskusikannya dalam jaringan FKUB. 

Wadah komunikasi antarumat beragama ini dirasa cukup efektif dalam menjaga toleransi dalam berbagai relasi-relasi sosial-keagamaan ditengah masyarakat yang multiagama dan multikultur.

Kasus Meliana yang sejauh ini dibahas ramai sebagai penolakan atas suara azan yang diperdengarkan melalui toa masjid, seolah-olah dipersepsikan masyarakat sebagai bagian dari intoleransi terhadap agama Islam. Kasus inipun semakin ramai, ketika tiba-tiba pemerintah melalui Kementrian Agama akan mengatur soal volume azan di setiap masjid atau musala. 

Muncul pro-kontra ditengah publik, bahkan banyak pula informasi hoaks yang beredar dimana pihak pemerintah justru akan melarang azan menggunakan pengeras suara.

Dengan mengedepankan kedewasaan berpikir dengan tidak mendahulukan perasaan emosional, setiap orang tentu saja dapat menjadi pembelajar yang baik dalam menyikapi permasalahan apapun, khususnya masalah sosial-keagamaan yang belakangan justru mudah sekali disikapi secara emosional.

Disadari maupun tidak, kasus Meliana sebenarnya mencuat dalam situasi dan kondisi yang tidak tepat. Ekses tahun politik yang sedemikian kental nuansa "politisasi agama" yang rentan gejolak sosial terhadap isu-isu politik-keagamaan, semakin membawa suasana yang tidak menguntungkan bagi kasus apapun yang dianggap "menodai" agama. Jika saja kasus ini tidak terjadi di tahun politik, mungkin saja tak sebesar dan seheboh ini perjalanannya, karena mungkin saja masing-masing pihak dapat menahan diri dengan melakukan musyawarah untuk meredam setiap gejolak sosial yang mungkin bisa lebih besar.

Lagi-lagi, kasus seperti ini tentu saja dapat menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang benar-benar mengedepankan akal sehat, bukan sekadar semangat keagamaan.

Menarik bagi saya, dimana "adzan" memang terkait erat dengan "udzun" (telinga) dimana keberadaannya memang diperdengarkan dan diharapkan mereka yang mendengar suara azan akan berbondong-bondong mendatangi tempat ibadah. 

Azan tentu saja tidak sebatas pemberitahuan telah datangnya waktu salat bagi umat muslim, namun bagaimana "udzun" dapat menggerakan hati dan termanifestasikan dalam bentuk langkah untuk menyegerakan menuju tempat ibadah. 

Namun sejauh ini, benarkah efek azan yang dikumandangkan kemudian menggerakkan setiap muslim untuk bergegas ke arah sumber suara? Saya kira anda akan lebih tahu jawabannya.

Soal azan ini pula barangkali, yang kemudian membuat Meliana berang karena volumenya yang memekakkan telinga (udzun), lalu dengan kata-kata terindikasi kebencian dilontarkan kepada pihak lain. 

Mungkin saja akan lain halnya, ketika azan diperdengarkan secara merdu yang justru semakin menyentuh kalbu dan telinga juga merasa diperdengarkan sesuatu panggilan yang benar-benar berasal dari Tuhan.

 Sebagai pertimbangan saja, bahwa suara azan yang diperdengarkan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Arab Saudi, justru malah semakin dirindukan oleh siapapun karena memang dilantunkan dengan suara indah dan merdu, bahkan ukuran volume suaranya pas dan pantas sebagai entitas panggilan Tuhan yang diperdengarkan telinga.

Mengatur volume toa masjid atau musala yang lebih pas dan terukur memang dirasa perlu. Hal ini tidak saja untuk mengurangi efek distorsi pelantang yang membisingkan, tetap lebih kepada hal bagaimana suara azan itu sampai menjadi vitamin bagi pendengaran, sehingga menggerakkan setiap orang untuk segera bergegas ke tempat ibadah. 

engatur volume tentu saja tak identik dengan melarang berkumandangnya azan, sebagaimana yang dipersepsikan beberapa pihak. Pengaturan volume justru lebih mengedepankan aspek toleransi keberagamaan dengan tujuan solidaritas sosial antarumat beragama lebih menguat. Lagi pula, di beberapa wilayah di Indonesia, masih ada sebagian masyarakat muslim yang enggan memakai pelantang suara ketika azan, karena tak disebut secara khusus dalam ajaran agama Islam.

Kita patut mendapatkan pelajaran penting dari kasus Meliana yang saat ini divonis 18 bulan penjara karena dianggap meresahkan umat beragama. Pertama dan paling utama, tentu saja selalu mengedepankan akal sehat bukan perasaan emosi, karena agama sesungguhnya adalah nasihat.

Betapa sikap emosional telah menggiring setiap orang untuk merusak hal apapun tanpa terkecuali, padahal merusak jelas adalah pelanggaran terbesar dalam aspek beragama. 

Kedua, agama tentu saja menuntun akal sehat kita untuk dapat bersikap lurus dan adil (hanifiyah) kepada siapapun, termasuk bagaimana kita berlapang dada (samhah) terhadap setiap realitas perbedaan yang ada. Bersikap "adil" dan "lapang dada" adalah kata kunci dalam aktualisasi sikap keberagamaan yang baik.

Perlu juga untuk diingat, bahwa kita ini hidup di negara Indonesia dengan seperangkat hukum-hukumnya dan keberagaman masyarakatnya yang senantiasa dinamis. Jauh sebelum republik tercinta ini berdiri, seperangkat nilai-nilai sosial, adat, tradisi, bahkan keyakinan agama telah terwujud dan hampir tak pernah ada gesekan-gesekan yang berarti terutama dalam soal perbedaan keyakinan. Bahkan, kita mempunya dasar negara yang otentik, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang walaupun tuhan banyak nama, hanya ada satu Tuhan yang menciptakan, mengatur, dan memberikan kebaikan kepada seluruh alam ini. 

Kita patut bersyukur terhadap keindahan dan kemolekan alam Indonesia yang diciptakan Tuhan untuk kita, "lama sebelum mereka menjadi umat Budha, Hindu, Kristen, dan Muslim", demikian tulis Buya Hamka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun