Kitab suci al-Quran, secara spesifik memaknai adil sebagai sikap yang lebih dekat kepada kebenaran (takwa). Sebagaimana tertulis dalam surat 5:8, "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa".Â
Menarik sebenarnya, karena sikap adil seringkali dipengaruhi oleh kondisi suka atau tidak suka, padahal adil melepaskan diri dari kekakuan terhadap fanatisme kekelompokan, primordialisme, partisan, atau segala hal yang justru menjauhkan diri kita dari sikap adil terhadap apapun. Jauh dari sikap adil ternyata linier dengan kenyataan dimana kebenaran hanya sebatas klaim sepihak, bukan suatu kebenaran yang dapat diterima semua pihak.
Kita tentu saja dapat menanyakan kepada diri kita sendiri, sudahkah kita berbuat adil? Bilakah kita bersikap tawazun (seimbang), tawasuth (tengah-tengah/tidak berat sebelah) sehingga pasti kebenaran akan diamini semua pihak, ataukah memang diri kita sulit berlaku adil, karena tanpa disadari kita memang dituntun oleh ke-ego-an dan ke-aku-an diri atau "dipaksa" untuk berlaku tidak adil karena kebencian kita kepada suatu kelompok?Â
Atau memang frasa "keadilan" itu memang sudah usang dan tak berlaku lagi di era kapitalisme global saat ini? Saya kira, semua jawaban sudah ada dibelakang kepala anda masing-masing lengkap dengan argumentasi-argumentasi pendukung yang sahih yang dapat menjatuhkan "lawan" seraya membela "kawan" anda sendiri.
Manusia sejatinya diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sangat sempurna dan seimbang (adil) dan Tuhan bertanggungjawab terhadap keadilan yang harus diberlakukan kepada seluruh ciptaan-Nya, tidak sebatas manusia.Â
Lalu, apakah frasa "adil" hanya berlaku untuk Tuhan kepada seluruh ciptaan-Nya, tetapi yang diciptakan justru tak pernah mampu berbuat adil? "Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang" (QS. 82: 6-7).Â
Perlu juga diingat, bahwa keadilan sesungguhnya yang akan menciptakan keseimbangan dalam hidup, bahkan keserasian dan keharmonisan dalam sebuah realitas sosial.
Lebih jauh, Tuhan jelas menjamin kebaikan dan kemakmuran suatu negeri dan seluruh entitas sosialnya, jika sebuah masyarakatnya dipenuhi oleh suasana keadilan yang digambarkan dalam bahasa agama sebagai aktualisasi dari keimanan dan ketakwaan.Â
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya"(QS. 7:96).Â
Jadi, sederhana saya kira, jika memang kita berharap tumbuhnya keadilan dan kemakmuran, berlakulah adil dan jadikan cara pandang keadilan sebagai tolok ukur dalam membuktikan suatu kebenaran.
Kita tentu akan kesulitan bersikap adil, karena banyak ketidakadilan yang menumpuk dalam setiap inci realitas sosial kita. Jangankan untuk membangun terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, soal simbol saja masih diperdebatkan dengan argumentasi yang menjadi klaim kebenaran sendiri-sendiri.Â