Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama FEATURED

Membangun Kampanye Positif Lewat "Marvelisasi"

18 Oktober 2018   10:40 Diperbarui: 10 Maret 2019   10:32 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI

Tak heran, jika kemudian fiksi politik mewujud dalam era digital saat ini, melalui ungkapan-ungkapan yang kurang lebih sama, mengambil contoh ketokohan dunia khayal.

Membangun kampanye positif dengan terus menerus mempromosikan ide-ide dan gagasan yang brillian dalam rangka kepentingan nasional---terlepas dengan menggunakan media fiksi maupun non-fiksi---akan sangat berdampak pada preferensi politik publik dalam menilai citra politik setiap kandidatnya.

Bukan tidak mungkin, cara kampanye "outward looking" semacam ini akan menenggelamkan cara-cara kampanye negatif atau "black campaign" yang sejauh ini marak menjadi konsumsi publik. Sudah saatnya bangsa ini "melek" politik diawali oleh laku para elitnya yang saling serang dalam hal ide dan gagasan, bukan hoaks apalagi kebohongan.

Tidak hanya itu, mempromosikan gagasan atau ide politik yang dibumbui alur cerita fiksi sedikit banyak menekan saling klaim soal kebenaran yang berbeda soal fakta dan data. Daripada berebut klaim soal angka kemiskinan, utang negara, atau kepemilikan aset-asetnya, "marvelisasi" politik kelihatan lebih soft dan membumi.

Bagaimana tidak, publik akan lebih paham tanpa harus "gerah" karena aspek fiksi cenderung lebih digemari daripada saling berebut klaim data yang memusingkan.

Bukan tidak mungkin, menghadirkan dunia fiksi dalam realitas politik merupakan trik kampanye jangka pendek (short term campaigne) yang paling memungkinkan ditengah semakin dekatnya pemilu. Sebab, soal preferensi politik publik, jauh-jauh hari sudah tertanam dalam benak mereka masing-masing siapa kandidat yang paling layak dipilih.

Bukan saatnya lagi para kandidat mengumbar keburukan masing-masing yang jelas-jelas hanya menimbulkan masalah dan goncangan politik, namun mari kita sama-sama "tenggelamkan"---meminjam bahasa Bu Susi---segala aspek negatif dalam kampanye politik.

Namun demikian, satu hal yang tak boleh luput dari suatu kampanye politik adalah publik tak selalu dijadikan objek hanya sebatas diekspolitasi suara mereka demi keuntungan kekuasaan segelintir pihak dalam jangka pendek. Penting bagi para kandidat untuk selalu memberikan citra positif ditengah masyarakat, tanpa harus menunggu dekatnya waktu pemilu.

Kampanye politik harus setali tiga uang dengan meningkatnya aspek pendidikan politik masyarakat atas kesepakatan ide dan gagasan yang dibangun dan dijalankan sementara kandidat atau bahkan partai politik. 

Dengan tidak menjadikan publik sebagai objek politik, maka suatu kampanye akan lebih bernilai sebagai ladang persemaian gagasan yang sebangun dengan kepentingan nasional.

Jadi, masih mau memilih cara-cara negatif dalam berkampanye? Atau menghalalkannya dengan membagi persentase 20 persen negatif dan 80 persen positif? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun