Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita, Hoaks, dan Bencana Kemanusiaan

5 Oktober 2018   13:16 Diperbarui: 5 Oktober 2018   13:18 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejauh ini, hoaks (kabar bohong) seakan menjadi gaya hidup era milenial ditengah membanjirnya beragam informasi yang menjadi konsumsi masyarakat. Tak ada yang patut dipersalahkan dalam hal penyebarannya yang sedemikian masif, karena terkadang media-media mainstream juga ada yang berpartisipasi ikut menyebarkannya. 

Disisi lain, otak manusia sesungguhnya mudah termanipulasi---meminjam bahasa Psikolog Daniel Kahneman---dan terbohongi karena sedemikian cepat dan masifnya informasi yang diterima. Kegagalan setiap orang dalam memilah atau menyeleksi setiap informasi yang diterimanya akibat digitalisasi informasi, menunujukkan efek bencana kemanusiaan yang lambat laun kian mendegradasi sisi kognitif kecerdasan manusia.

Hoaks yang semakin terbiasa dikonsumsi publik, malah semakin berjaya menjadi semacam gaya hidup yang seringkali dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu: kepentingan politik, persaingan bisnis, atau sebagai mata pencaharian yang menjanjikan aspek keekonomian. 

Sulit untuk tidak dikatakan, sistem kapitalisme yang diterima sebagai sebuah kenyataan sosial-ekonomi-politik, menuntut setiap orang untuk serba cepat dan instan, potong kompas sekadar mendapatkan keuntungan serba materi ditengah ketatnya dinamika persaingan bisnis yang mengglobal. Hoaks tak bisa dilihat dari sisi kepentingan politik an sich, atau memang sengaja dibuat demi merusak sendi-sendi keutuhan sosial.

Membicarakan hoaks dalam konteks luas sosial-kepolitikan---terutama di Indonesia, bukan melulu dianggap sebagai suatu skenario besar demi mengejar tujuan-tujuan tertentu. 

Melihat dari model penyebarannya yang sedemikian masif dan terungkapnya mereka yang menyebarkannya, hampir dipastikan tak terkait jaringan apapun---kecuali sisi bisnis sebagaimana kasus Saracen---sehingga fenomena ini jelas merupakan bencana literasi kemanusiaan yang menimpa hampir seluruh masyarakat dimanapun. 

Efek negatif dunia digital justru menemukan momentumnya disini, dimana hoaks menjadi gaya hidup masyarakat bertolak belakang dengan kenyataan (kemunduran?)budaya literasi.

Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Saya kira banyak negara-negara tertentu yang mengatasinya melalui pemblokiran ragam aplikasi media sosial dengan tujuan utama memutus mata rantai penyebaran hoaks atau informasi bohong yang merusak. 

Memberikan penyadaran kepada masyarakat agar tak mudah terprovokasi atau memberikan rangsangan agar lebih dapat berpikir sehat dengan memilah gempuran informasi, bukanlah hal yang mudah. Keberadaan masyarakat pegiat anti-hoaks pun tampaknya tak berdaya, bahkan mereka kadang terkesan kurang berimbang karena tanpa sadar justru "membela" kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat tertentu.

Mungkin ada benarnya ketika Steve Tesich mempopulerkan istilah "post-truth" (pasca kebenaran) yang menggambarkan sedemikian mudahnya setiap orang menganggap "kebenaran" informasi apapun atas dorongan tarikan emosi (appeal to emotion) dan keyakinan pribadi. 

Terlepas dari soal perdebatan yang menyoal istilah ini, gencarnya informasi hoaks yang semakin mudah saja dianggap kebenaran oleh masyarakat menunjukkan lemahnya tingkat literasi bahkan menjadi bencana kemanusiaan. 

Suatu informasi bisa benar karena disukai dan bisa salah karena dibenci. Bencana kemanusiaan lewat kemunduran literasi jelas terjadi, selaras soal kebutuhan dasar jiwa manusia yang dalam pandangan Freud disebut self-defense mechanism (kebutuhan untuk merasa benar).

Kita tentu saja seringkali berprasangka bahwa maraknya berita hoaks disebabkan unsur kesengajaan pihak-pihak tertentu yang erat kaitannya dengan misi-misi kepentingan politik, tanpa mengkaitkan dengan persoalan fakirnya literasi masyarakat dan efek negatif era digital. 

Prasangka itu tentu saja tidak semuanya salah, walaupun kebanyakan tarikan emosi lebih mendominasi terlebih dililit isu-isu kepolitikan yang menggila. Tak jarang, penerimaan baik sisi kognitif atau aspek literasi seseorang bukan jaminan tak terpapar hoaks. Buktinya, seorang pakar, akademisi, penguasa terlebih sekadar politisi atau bahkan ahli agama, sadar maupun tidak, ikut andil memperparah bencana ini.

Kita semua terlibat dan menceburkan diri dalam hoaks, karena ikut membaca, berempati atau emosi, sekaligus menyebarkannya ke lain pihak. Jika bencana alam dianggap menyengsarakan secara fisik dan psikis, karena begitu banyaknya jatuh korban, maka bencana kemanusiaan akibat hoaks bisa lebih dahsyat lagi, karena bukan saja urusan pisik atau psikis yang terganggu, namun juga sendi-sendi solidaritas sosial kemasyarakatan. 

Bencana alam mungkin bisa lebih banyak merekatkan ikatan-ikatan solidaritas, tetapi tidak dengan bencana kemanusiaan akibat hoaks, statusnya merusak, menghancurkan, bahkan memporak-porandakan dimensi sosial, ekonomi, politik, bahkan agama.

Budaya hoaks terlanjur diterima sebagai bagian dari masyarakat kita, karena memang kebutuhan dasar jiwa manusia menemukan kekuatannya disini, di era hoaks saat ini. Hoaks ternyata bukan lagi menjadi ancaman, karena terbukti mampu memanipulasi aspek kognitif pemikiran manusia, membentuk prilaku dan mewujud dalam budaya yang sulit diubah. 

Budaya hoaks tampak dari setiap orang atau kelompok dengan sadar membela kepentingannya sendiri dan merasa bahwa dirinya atau pihaknyalah yang paling benar. Pernahkah kita merasa salah dan dengan penuh kesadaran bencana yang timbul atas kesalahan diri kita atau kelompok kita sendiri? Karena kebutuhan dasar jiwa manusia itu merasa benar, maka pertanyaan diatas hendaknya ditanyakan pada rumput yang bergoyang. Salam Waras!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun