Suatu informasi bisa benar karena disukai dan bisa salah karena dibenci. Bencana kemanusiaan lewat kemunduran literasi jelas terjadi, selaras soal kebutuhan dasar jiwa manusia yang dalam pandangan Freud disebut self-defense mechanism (kebutuhan untuk merasa benar).
Kita tentu saja seringkali berprasangka bahwa maraknya berita hoaks disebabkan unsur kesengajaan pihak-pihak tertentu yang erat kaitannya dengan misi-misi kepentingan politik, tanpa mengkaitkan dengan persoalan fakirnya literasi masyarakat dan efek negatif era digital.Â
Prasangka itu tentu saja tidak semuanya salah, walaupun kebanyakan tarikan emosi lebih mendominasi terlebih dililit isu-isu kepolitikan yang menggila. Tak jarang, penerimaan baik sisi kognitif atau aspek literasi seseorang bukan jaminan tak terpapar hoaks. Buktinya, seorang pakar, akademisi, penguasa terlebih sekadar politisi atau bahkan ahli agama, sadar maupun tidak, ikut andil memperparah bencana ini.
Kita semua terlibat dan menceburkan diri dalam hoaks, karena ikut membaca, berempati atau emosi, sekaligus menyebarkannya ke lain pihak. Jika bencana alam dianggap menyengsarakan secara fisik dan psikis, karena begitu banyaknya jatuh korban, maka bencana kemanusiaan akibat hoaks bisa lebih dahsyat lagi, karena bukan saja urusan pisik atau psikis yang terganggu, namun juga sendi-sendi solidaritas sosial kemasyarakatan.Â
Bencana alam mungkin bisa lebih banyak merekatkan ikatan-ikatan solidaritas, tetapi tidak dengan bencana kemanusiaan akibat hoaks, statusnya merusak, menghancurkan, bahkan memporak-porandakan dimensi sosial, ekonomi, politik, bahkan agama.
Budaya hoaks terlanjur diterima sebagai bagian dari masyarakat kita, karena memang kebutuhan dasar jiwa manusia menemukan kekuatannya disini, di era hoaks saat ini. Hoaks ternyata bukan lagi menjadi ancaman, karena terbukti mampu memanipulasi aspek kognitif pemikiran manusia, membentuk prilaku dan mewujud dalam budaya yang sulit diubah.Â
Budaya hoaks tampak dari setiap orang atau kelompok dengan sadar membela kepentingannya sendiri dan merasa bahwa dirinya atau pihaknyalah yang paling benar. Pernahkah kita merasa salah dan dengan penuh kesadaran bencana yang timbul atas kesalahan diri kita atau kelompok kita sendiri? Karena kebutuhan dasar jiwa manusia itu merasa benar, maka pertanyaan diatas hendaknya ditanyakan pada rumput yang bergoyang. Salam Waras!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H