Heboh soal OTT KPK atas adik Ketua MPR Zulkifli Hasan, seakan menjadi ajang kosmetikasi politik. Bagaimana tidak, soal ungkapannya di acara Hari Santri Nasional tahun lalu, menyinggung Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj yang dianggap mengkotak-kotakan umat Islam. Bahkan tanpa ragu-ragu, Zainudin menyuruh jajaran pengurus NU Lampung Selatan untuk datang ke PBNU memprotes pernyataan Kiai Said yang menyinggung soal jenggot dan sorban. Walaupun kemudian ia mengutarakan permohonan maafnya, namun tetap saja hal ini dapat menjadi pukulan telak bagi parpol pengusung dirinya sendiri dan mencoreng nama baik Ketua MPR.
Memang, tak ada kaitannya soal hinaan dirinya kepada Kiai Said dengan pengangkapan KPK, namun yang jelas, citra baik PAN jelas akan terganggu. Pemberitaan media yang sedemikian massif memajang foto Bupati Lampung Selatan ini---lengkap dengan peci dan sorbannya---sangat kontras dengan nilai-nilai ajaran Islam yang selama ini dianutnya.Â
Tampilan luar pada akhirnya hanyalah sebatas "simbolisasi" politik, tidak mencerminkan sama sekali kedalaman hati seseorang. Inilah barangkali, sindiran---bukan hinaan---yang seringkali dilontarkan Kiai Said dalam beberapa momen ceramahnya. Ia memang kerap menyindir kalangan Islam tertentu yang terkesan membanggakan simbol, padahal pada kenyataannya, mereka sulit sekali toleransi dan menerima setiap perbedaan.
Klaim Zainudin yang pernah menyebut Kiai Said menghina---apalagi dengan redaksi caci maki---jelas melukai perasaan warga nahdliyyin di seluruh Indonesia. Ia tak menyadari, bahwa NU masih memiliki tradisi yang kuat dan mengakar: ta'dzim dan sangat memulyakan para kiai dari manapun latar belakangnya.Â
Zainudin seperti lupa sedang membicarakan ormas Islam terbesar di Indonesia, padahal suara dukungan dirinya menduduki jabatan kepala daerah, tak mungkin lepas dari dukungan warga NU setempat. Lagi pula, sindiran dan ungkapan kemarahan apalagi caci-maki itu sangat berbeda, sehingga perlu secara jeli berkomentar atau mengkritisi pernyataan seseorang.
Kondisi alam politik yang belakangan semakin menghangat, mungkin saja ada pihak-pihak tertentu yang "sengaja" membuat isu-isu politik demi menjatuhkan pihak lawan. Atau, akan dengan mudah memanfaatkan momen tertentu sebagai dalih yang terus menyudutkan salah satu rival politik, apalagi menjelang Pilpres berlangsung. Bukan suatu kebetulan saya kira, PAN yang lahir dari ormas Muhammadiyah, sepertinya memang menjadi "rivalitas politik" NU dalam persaingan kekuasaan politik. Sudah sejak dulu, ideologi politik bahkan keagamaan antara NU dan Muhammadiyah memang berbeda, meskipun masing-masing pihak bertoleransi dengan menonjolkan persamaannya.
Saya kira, kasus penolakan MUI Sumbar soal Islam Nusantara yang dikembangkan NU, juga sedikit banyak merupakan efek "benturan" ideologis antara NU-Muhammadiyah. Sumbar diketahui sudah sejak dulu merupakan kawasan lahirnya ideologi pembaharu Islam yang bertentangan secara langsung dengan adat dan tradisi keislaman setempat.Â
Muhammadiyah, cukup mayoritas di Sumbar dan banyak lahir tokoh-tokoh Muhammadiyah justru dari sana. Mungkin saja, karena MUI Sumbar di dominasi kalangan non-NU, maka mereka secara tegas menolak konsep Islam Nusantara yang sempat ramai menjadi pro dan kontra di tengah publik. Lalu, apakah ini ada kaitannya? Wallahu a'lam bisshawab.
Menariknya lagi, PAN sepertinya semakin tak serasi dengan kalangan nahdliyyin, apalagi salah satu politisi seniornya, lantang melakukan perlawanan terhadap pemerintah. bukan satu kali dua kali, Amien Rais seringkali muncul kehadapan publik, menyuarakan kegelisahannya soal keberadaan negara. Negara seakan dalam pandangan dirinya dalam keadaan bahaya, sehingga ia harus terus memprovokasi masyarakat agar tersadar akan "bahaya" tersebut. Kritikan Amien Rais, seakan membuka ruang konflik dengan siapapun yang mendukung pemerintah, termasuk kalangan NU.
Saya kira, kondisi belakangan ini mirip dengan kondisi masa lalu, dimana marak sekali "perang ideologis" antarberagam kubu yang menginginkan kekuasaan. Tidak saja soal agama yang dibawa-bawa, bahkan "dipelintir" menjadi ajang kosmetikasi politik-kekuasaan, bahkan tradisi, budaya, kebahasaan, atau aliran keagamaan tertentu nampak seperti menjadi klaim salah satu pihak.Â
Wajar, saya kira, jika NU sebagai ormas yang cenderung akomodatif terhadap pemerintah, tampak sibuk melakukan counter terhadap tuduhan-tuduhan yang menyudutkan ormas yang sangat menghormati para kiai ini. Tuduhan-tuduhan tentu saja berasal dari kalangan muslim yang tak suka dengan cara-cara tradisi NU---termasuk terlalu akomodatif terhadap pemerintahan---dan umumnya berasal dari kalangan puritanis.