Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Benarkah Transfer Caleg karena Perbedaan Ideologi Politik?

19 Juli 2018   16:02 Diperbarui: 19 Juli 2018   20:33 2268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada(KOMPAS/PRIYOMBODO)

Isu transfer caleg pertama kali mengemuka dari pernyataan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan ketika menyoal salah satu anggotanya, Lucky Hakim yang berpindah partai ke Nasdem. Lucky yang merupakan anggota DPR asal PAN, justru menjadi caleg dari Nasdem dengan konon gara-gara "uang kontrak" sebesar 5 miliar rupiah. 

Isu transfer caleg ini kian santer, setelah melihat kenyataan bahwa banyak para politisi yang hijrah nyaleg dari parpol lain, bukan dari parpol pengusung sebelumnya. Modus transfer caleg ini seperti membuka borok lama soal money politics yang dulu pernah dianggap sebagai cara instan seseorang untuk membeli hasrat kekuasaan dan jabatan.

Walaupun kesan transfer caleg tak selalu linier dengan soal duit, namun sangat sulit rasanya jika persoalan perpindahan para caleg dari satu partai ke partai lainnya murni karena alasan ideologis. 

Bagi saya, ideologi politik sejauh ini sudah tergadaikan oleh nilai materialistik, kepentingan pribadi, dan bahkan privilege kekuasaan. 

Sekuat apapun dan serasional apapun alasan perpindahan seorang caleg ke kendaraan politik lain, tetap saja "nominal" materi menjadi pertimbangan yang paling utama. "Transfer politik" sepertinya menjadi tren baru di dunia legislatif, dimana parpol harus menjaring sebanyak mungkin para pesohor, terutama mereka yang eksis di dunia entertainment.

Ongkos politik tentu saja tidak murah, jika ingin para caleg masuk tidak sekadar nangkring dalam daftar urutan nomor sepatu. Angka-angka tertentu dalam penomoran urutan caleg, tentu bukan soal lemah dan kuatnya ideologi politik seseorang atau kedekatan dan pembelaannya yang luar biasa terhadap parpol, tetapi lebih diurutkan berdasar siapa yang terbesar biaya transfer politiknya. 

Itulah sebabnya, para artis tak luput tergiur akan indahnya kekuasaan, mereka banyak yang banting stir mengikuti seleksi pencalegan lewat parpol manapun jalurnya. Jadi, sulit untuk melepaskan bahwa dunia politik sama dengan dunia bisnis, berlomba-lomba menawarkan "produk" yang sudah terlebih dulu di kenal masyarakat. Semakin banyak figur yang dipilih, maka keuntungan besar sudah didepan mata tak ubahnya seperti keuntungan menggiurkan sebuah perusahaan.

Jadi, sejauh mana praktik transfer "produk" politik itu karena alasan kedekatan atau kesamaan ideologis? Saya kira, anda mampu menebaknya jika melihat perihal ongkos politik yang sedemikian besar dalam seluruh lini kekuasaan. 

Demokrasi belakangan sangat kontras dengan ajang "jual-beli" yang terkungkung dalam formalistik-pragmatis. Sulit sekali keluar dari kungkungan "bisnis" politik ini, kecuali jika kita siap menerima kekalahan demi kekalahan berkontestasi. 

Toh, aturan caleg eks napi korupsi pada akhirnya tetap dipertahankan, lagi-lagi karena soal adanya tekanan "biaya politik". Parpol bersedia menjelaskan asal-usul kenapa eks koruptor tetap diakomodasi untuk nyaleg, mungkinkah karena soal kedekatan ideologi politiknya? Tanya diri anda sendiri.

Saya kira, isu merebaknya transfer caleg semakin membuka mata publik, betapa kekuatan materi dan bukan ideologi yang tampak diperkuat. Tak ada ideologi politik, karena sejatinya ia hadir di "dunia lain" bukan dalam dunia nyata panggung kekuasaan. Wajar jika ada sebagian orang yang "gagal" menangkap makna demokrasi yang digadang-gadang menjadi sistem yang paling adil dan menerima keinginan berbagai pihak. 

Demokrasi hanya sebatas "simbol" yang diperdengungkan di permukaan, walaupun ternyata substansinya hancur berantakan. Demokrasi sekadar prosedur politik yang tak memiliki kedalaman makna, terlebih dapat memberikan dampak nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Belakangan justru ramai perdebatan antarpetinggi parpol menyoal biaya transfer, masing-masing mengklaim dengan dalih kebenarannya sendiri-sendiri. Disatu pihak, bahwa proses transfer caleg itu memang ada, disisi lain justru isu itu sebatas "sampah" yang tak layak dikonsumsi oleh masyarakat. 

Itulah realitas politik yang kadang bertentangan dengan kenyataan sosial. Realitas politik tak seluruhnya diungkap, karena "wajib" disembunyikan beberapa faktanya demi lancarnya seluruh proses politik. Publik dalam hal ini tentu saja akan lebih cerdas membedakan, mana yang realitas politik dan mana kenyataan sosial yang sesungguhnya.

Tidak hanya transfer caleg, ideologi politik justru tak berlaku ketika melihat dari beberapa publik figur yang mengejutkan memilih salah satu parpol sebagai kendaraan politiknya. 

Yang lebih aneh, pilihan politik yang bersifat pribadi dan duniawi, lalu dituduh sebagai pribadi yang tidak taat agama atau bahkan melanggar agama. Itulah karena melihat seseorang dari sisi luar, berdasarkan simbol-simbol yang selama ini dipertontonkan kepada khalayak, padahal substansinya belum tentu selaras dengan simbol yang melekat yang sejauh ini dipersepsikan banyak orang. 

Politik akan melenceng jika hanya dipersepsikan "hitam-putih", karena dunia politik bukan zebra cross yang menjadi "penanda" bagi setiap orang untuk menyeberang secara aman. Dunia politik adalah jalanan umum, penuh hiruk pikuk kendaraan yang dihalalkan, salip kanan atau kiri, bahkan mungkin bertabrakan sekalipun.

Saya kira sudah menjadi rahasia umum, bahwa proses rekrutmen politik sarat dengan ongkos dan biaya politik yang jauh dari sekadar harga sapi menjelang Idul Adha. Lalu, masihkah ada kesamaan ideologi politik yang membuat banyak orang menyeberang secara bebas ke parpol manapun yang dia sukai? Sederhananya, seseorang yang dibesarkan secara ideologis dalam kurun waktu tertentu dan dalam lingkungan tertentu, pasti sudah sangat fasih dengan ideologi politik yang melekat dalam kepalanya. Perpindahan atau memilih parpol lain sebagai kendaraan politik barunya, tentu saja sangsi jika itu karena alasan kedekatan ideologi, bukan karena nilai materi.

Tetapi, itulah realitas politik dimana pada kenyataannya marak fenomena perpindahan para caleg dari satu parpol ke parpol lainnya demi mengejar berbagai kenikmatan kekuasaan. Parpol ibarat perusahaan besar yang siap meluncurkan produk politiknya ke tengah masyarakat dengan berbagai identitas yang melekat kuat yang sudah ditangkap masyarakat. 

Saya rasa, masyarakat tak lagi memilih berdasarkan pretensi latar belakang parpolnya, tetapi lebih kepada bentuk "produk" yang sejauh ini dianggap lebih "menjual" karena figurnya yang terkenal. Elektabilitas dalam hal ini ditentukan oleh popularitas, sehingga wajar jika fenomena "transfer politik" justru makin marak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun