Demokrasi hanya sebatas "simbol" yang diperdengungkan di permukaan, walaupun ternyata substansinya hancur berantakan. Demokrasi sekadar prosedur politik yang tak memiliki kedalaman makna, terlebih dapat memberikan dampak nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Belakangan justru ramai perdebatan antarpetinggi parpol menyoal biaya transfer, masing-masing mengklaim dengan dalih kebenarannya sendiri-sendiri. Disatu pihak, bahwa proses transfer caleg itu memang ada, disisi lain justru isu itu sebatas "sampah" yang tak layak dikonsumsi oleh masyarakat.Â
Itulah realitas politik yang kadang bertentangan dengan kenyataan sosial. Realitas politik tak seluruhnya diungkap, karena "wajib" disembunyikan beberapa faktanya demi lancarnya seluruh proses politik. Publik dalam hal ini tentu saja akan lebih cerdas membedakan, mana yang realitas politik dan mana kenyataan sosial yang sesungguhnya.
Tidak hanya transfer caleg, ideologi politik justru tak berlaku ketika melihat dari beberapa publik figur yang mengejutkan memilih salah satu parpol sebagai kendaraan politiknya.Â
Yang lebih aneh, pilihan politik yang bersifat pribadi dan duniawi, lalu dituduh sebagai pribadi yang tidak taat agama atau bahkan melanggar agama. Itulah karena melihat seseorang dari sisi luar, berdasarkan simbol-simbol yang selama ini dipertontonkan kepada khalayak, padahal substansinya belum tentu selaras dengan simbol yang melekat yang sejauh ini dipersepsikan banyak orang.Â
Politik akan melenceng jika hanya dipersepsikan "hitam-putih", karena dunia politik bukan zebra cross yang menjadi "penanda" bagi setiap orang untuk menyeberang secara aman. Dunia politik adalah jalanan umum, penuh hiruk pikuk kendaraan yang dihalalkan, salip kanan atau kiri, bahkan mungkin bertabrakan sekalipun.
Saya kira sudah menjadi rahasia umum, bahwa proses rekrutmen politik sarat dengan ongkos dan biaya politik yang jauh dari sekadar harga sapi menjelang Idul Adha. Lalu, masihkah ada kesamaan ideologi politik yang membuat banyak orang menyeberang secara bebas ke parpol manapun yang dia sukai? Sederhananya, seseorang yang dibesarkan secara ideologis dalam kurun waktu tertentu dan dalam lingkungan tertentu, pasti sudah sangat fasih dengan ideologi politik yang melekat dalam kepalanya. Perpindahan atau memilih parpol lain sebagai kendaraan politik barunya, tentu saja sangsi jika itu karena alasan kedekatan ideologi, bukan karena nilai materi.
Tetapi, itulah realitas politik dimana pada kenyataannya marak fenomena perpindahan para caleg dari satu parpol ke parpol lainnya demi mengejar berbagai kenikmatan kekuasaan. Parpol ibarat perusahaan besar yang siap meluncurkan produk politiknya ke tengah masyarakat dengan berbagai identitas yang melekat kuat yang sudah ditangkap masyarakat.Â
Saya rasa, masyarakat tak lagi memilih berdasarkan pretensi latar belakang parpolnya, tetapi lebih kepada bentuk "produk" yang sejauh ini dianggap lebih "menjual" karena figurnya yang terkenal. Elektabilitas dalam hal ini ditentukan oleh popularitas, sehingga wajar jika fenomena "transfer politik" justru makin marak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H