Serasa kontras sekali, disaat deklarasi Prabowo-Mardani dilakukan oleh Relawan Pancasila Cyber Army dan Solidaritas Muslim Alumni Universitas Indonesia (Solusi UI) dan disaat bersamaan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, malah menemui Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj untuk meminta pendapat siapa cawapres yang pantas mendampinginya. Manuver Prabowo mendekati NU serasa sinyal kuat bahwa Gerindra semakin menjauhi PKS, terutama akibat kekalahannya di berbagai ajang kontestasi Pilkada serentak 2018 yang lalu. Belakangan kengototan PKS agar Gerindra mau meminang kader PKS sebagai cawapres Prabowo, seakan malah tak dihiraukan.
Tidak hanya Jokowi yang ditunggu-tunggu siapa sebenarnya sosok yang beruntung dipilih untuk mendampinginya, pihak rivalnya Prabowo, juga melakukan hal yang sama. Keberadaan figur yang pas sebagai cawapres justru menjadi hal paling penting dalam Pilpres mendatang, bukan soal siapa capresnya. Itulah kenapa, masing-masing kandidat tampak bermanuver menjajagi segala kemungkinan termasuk melakukan pendekatan kepada berbagai kelompok masyarakat.Â
Menariknya, parpol hanya sebatas kendaraan politik formalitas saja yang sekadar mengantarkan para kandidat, bukan penentu utama dalam menentukan soal siapa kandidatnya yang pantas.
Peta politik jelang Pilpres 2019 mendatang semakin banyak mengalami perubahan, terutama setelah maraknya fenomena dukungan dari beragam kelompok masyarakat kepada masing-masing kandidat, baik di kubu Jokowi maupun Prabowo. Yang paling mengejutkan barangkali, dukungan TGB Zainul Majdi kepada Jokowi yang membuat melebarnya pergeseran peta politik Pilpres.Â
TGB yang dinilai sebagai ulama yang cukup disegani dikalangan gerakan Islam, membuat Prabowo berpikir ulang jika hanya mengandalkan PKS sebagai pendukung arus utama kekuatan politiknya. Keberadaan PKS yang dirundung konflik belakangan ini, justru akan dinilai membahayakan bagi pencapresan Prabowo.
Itulah kenapa, Prabowo berinisiatif menemui tokoh-tokoh NU, sekadar bertukar pendapat dan mengukur seberapa besar peluang dirinya jika nanti mengambil cawapres dari kalangan NU. Walaupun NU bukan organisasi politik, namun dengan basis massa yang cukup besar, sangat mungkin didulang suaranya dalam konteks kontestasi politik. Sudah sejak dulu, suara warga NU seringkali dimanfaatkan oleh siapapun yang akan berkontestasi, entah dengan menempatkan para wakilnya dalam struktur kekuasaan secara formal atau sekadar meminta restu sebagai dukungan non-formal kepada setiap kandidat yang akan berkompetisi.
Gerindra justru tampak masih terus mencari peluang untuk dapat menggaet parpol-parpol yang belum secara resmi mendeklarasikan dukungannya. Walaupun disisi lain, manuver PKS yang seakan melakukan "faith accomply" dengan mendeklarasikan cawapresnya untuk Prabowo, tak begitu digubris oleh Gerindra. Bukankah ini semakin memperkuat sinyal bahwa PKS justru semakin ditinggalkan Gerindra? Jangan-jangan, sekaliber Fahri Hamzah yang tak mau lagi nyaleg dari PKS, mungkin saja menyeberang ke Gerindra karena sejauh ini kritik-kritiknya yang tajam kepada pihak penguasa seiring sejalan dengan Fadli Zon, sang wakil ketua umum Gerindra.
Manuver Prabowo dengan mendekati NU disaat acara pendeklarasian Prabowo-Mardani oleh kader-kader PKS, seharusnya dipahami sebagai upaya lain dari "penggembosan" terhadap PKS. Bagaimana tidak, deklarasi yang seharusnya membuat Gerindra terasa "dihormati" oleh parpol pendukungnya, malah dibalas dengan manuver kunjungan ketua umumnya ke PBNU. Sudah menjadi rahasia umum saya kira, bahwa PKS dan NU secara ideologis sangat bertolak belakang dan secara politis justru bertentangan. Maraknya ungkapan "kontroversial" kader PKS kepada kalangan nahdliyyin di media sosial, cukup membuktikan betapa keduanya merupakan "rivalitas" dalam banyak hal.
Prabowo jelas berhitung cermat secara politik agar pencapresannya kelak tidak dinilai sia-sia. Sejauh ini, parpol pendukung baru PKS yang secara kalkulasi politik tak berarti apa-apa, terlebih jika mengukur kekuatan politik jelang kontestasi nasional. Wajar, jika kemudian penjajagan terus dilakukan termasuk keinginan Prabowo untuk bertemu SBY dengan tujuan mencari peluang dalam memperkuat dukungan politik.Â
Figur Prabowo tidak cukup kuat jika hanya berkoalisi dengan dua parpol, terlebih harus "menerima" kader PKS sebagai cawapres yang mendampinginya. Kekalahannya dalam berbagai ajang Pilpres, cukup menjadi pelajaran berharga sehingga ia tidak gegabah dalam menentukan siapa figur paling pantas yang bakal "menjual" dirinya jika kelak ia diusung sebagai capres.
Saya kira, Prabowo mendapat angin segar dari isu soal PKB yang kadernya tak lolos masuk kantong bursa cawapres Jokowi. Meskipun parpol besutan NU ini secara tegas tetap mendukung Jokowi di Pilpres mendatang, namun belum tentu para simpatisan partai di lingkungan akar rumputnya mau  menerima. Pilihan Prabowo untuk mengunjungi PBNU justru membuka ruang komunikasi lebih jauh, dimana mungkin saja soal Cak Imin yang "gagal" masuk kantong Jokowi, bisa saja "ditilep" masuk  kantong Prabowo. Namun yang pasti, manuver Prabowo jelas seperti menjauhi PKS, tak pernah sedikitpun membicarakan cawapresnya dari kalangan PKS.
Ada hal yang paling menarik dalam manuver Prabowo mendekati NU ini, terutama isu kuat di berbagai media yang seakan menempatkan Gerindra sebagai "rivalitas" NU. Hal ini tentu saja harus segera ditepis Prabowo dengan kembali menjalin komunikasi secara baik dengan berbagai kalangan NU, membuang anasir-anasir negatif yang sejauh ini dicitrakan masyarakat terhadap Gerindra.Â
NU tidak saja merupakan basis massa muslim terbesar di Nusantara yang keberadaannya tak boleh diabaikan oleh siapapun. Mengabaikannya, sama saja dengan "melawan" puluhan juta umat muslim di seluruh Indonesia dan dipastikan, kekuatan ini dapat meruntuhkan peluang siapa saja dalam hal  memenangkan ajang kontestasi politik.
Saya kira, Prabowo lebih memilih mencari dukungan NU yang merupakan perwujudan suara muslim "mayoritas", daripada menerima PKS yang keberadaan suaranya sekadar "minoritas". Namun demikian, mampukah Prabowo menghapus stereotip negatif Gerindra-PKS yang selama ini seringkali kontra dengan kalangan NU? Bisa saja kesan itu hilang atau meredup, jika Gerindra benar-benar menempatkan wakil dari kalangan NU mendampingi Prabowo di ajang Pilpres mendatang.Â
Alangkah lebih baik, jika Gerindra juga mampu membangun komunikasi dengan PKB, parpol yang diusung kalangan nahdliyyin, sehingga dapat memunculkan warna Gerindra sebagai kekuatan parpol yang mendapat dukungan kuat dari kalangan Islam moderat. Kita tunggu saja, apakah Prabowo akan mengikuti arahan NU dalam menentukan siapa cawapresnya? Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H