Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menanti Hasil Ijtima' Ulama Soal Kandidat Capres 2019

3 Juli 2018   13:59 Diperbarui: 4 Juli 2018   19:32 4197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik sesungguhnya ketika para ulama berkumpul untuk bersepakat (ijtima') menentukan pasangan capres dan cawapres untuk Pilpres 2019 mendatang. Umumnya, proses ijtima' ulama terkait dengan persoalan sosial-keagamaan, kini sudah bergeser dalam ranah politik.

Tidak ada yang perlu dirisaukan soal keinginan para ulama bersepakat dalam konteks politik ini, yang perlu dirisaukan justru ketika hasil ijtima' itu tak ditaati oleh unsur parpol di saat harus menentukkan apakah kandidat harus mengikuti hasil ijtima' ataukah mempertimbangkan kenyataan parpol koalisi nantinya. Sejauh ini, baru PAN yang menyatakan akan mempertimbangkan aspek ijtima' ulama dalam soal pengusungan kandidatnya di Pilpres nanti.

Para ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), Pesaudaraan Alumni (PA) 212 dan DPP FPI rencananya akan berembuk dan merekomendasikan kandidat yang akan berlaga di Pilpres 2019. Ada beberapa nama kandidat capres yang telah dikantongi oleh kelompok ulama ini, di antaranya ialah Habib Rizieq Shihab, Prabowo Subianto, Tuan Guru Bajang, Yusril Ihza Mahendra, dan Zulkifli Hasan.

Entah apakah karena nama Zulhas masuk dalam radar kesepakatan para ulama, sehingga PAN menjadi parpol pertama yang kemudian mempertimbangkan hasil ijtima' ini nantinya ataukah memang ada pertimbangan lain. Menerima hasil ijtima' ulama soal kandidat serasa sangat sulit, terlebih ulama yang dimaksud erat kaitannya dengan "ulama" politik.

Ada hal menarik sebenarnya dari hasil rekomendasi nama-nama kandidat versi ulama ini, di mana nama Habib Rizieq masuk di urutan pertama yang paling "recommended" di antara nama kandidat lainnya. Rizieq, saya kira cukup populer di kalangan umat Islam, mengingat berbagai pemberitaan yang kontroversial mengenai sosok keberadaannya.

Popularitas tentu saja tak linier dengan elektabilitas karena banyak sekali kenyataan politik yang justru menggambarkan sebaliknya. Seorang artis yang dikenal masyarakat, tak menjamin memenangkan ajang kontestasi jika hanya didukung popularitas jika tak diiringi dengan elektabilitas politik yang mewujud melalui kepeduliannya yang besar terhadap persoalan-persoalan sosial.

Persoalan akan muncul belakangan, jika seandainya rekomendasi hasil ijtima' ulama justru mengerucut hanya kepada nama Habib Rizieq Shihab satu-satunya kandidat capres yang diusung para ulama. Parpol pengusung mungkin saja menolak, karena keberadaan mereka sebagai prasyarat utama presidential treshold (PT) dalam mengusung kandidat justru terabaikan begitu saja.

Kecuali, jika kandidat capres dari parpol dan cawapres direkomendasikan oleh hasil ijtima' ulama, barangkali itu yang lebih proporsional dan masuk akal. Saya kira perlu dipahami, bahwa kepemimpinan politik kekinian bukanlah ditunjukkan oleh ketokohan individual, tetapi lebih kepada bentuk kolektif-kolegial, di mana tidak ada peran utama yang menonjol dari sisi individunya, tapi dari sisi kekompakannya dalam meramu kebijakan-kebijakan sosial-politik.

Bagi saya, akan lebih menarik lagi jika spektrum ulama lebih diperluas, tak sebatas mereka yang aktif secara politik dalam gerakan-gerakan tertentu, seperti GNPF atau 212. Luasnya spektrum ulama tentu saja semakin memperkuat hasil rekomendasi dan jauh dari kesan kelompok itu-itu saja yang concern dalam urusan politik. Benar, bahwa ulama berpengaruh besar dalam mempengaruhi pemilih sebagaimana diungkapkan Zulhas. "Pengaruh ulama memang besar sekali. Lihat saja Jabar, Jateng, Jatim, Sumut itu luar biasa," ujarnya dalam laman situs detik.com (03/7/18).

Akan lebih sulit rasanya, jika ulama yang mengeluarkan hasil rekomendasi hanya terbatas pada spektrum gerakan 212 yang sejak awal memang bergerak dalam upaya pemenangan politik. Kecuali dalam spekrum sektoral, seperti ampuhnya fatwa ulama NU pada Pilkada Jatim 2018 lalu yang berhasil mengantarkan Khofifah-Emil ke kursi gubernur dan wakil gubernur. Fatwa ulama ini tentu saja lingkupnya sektoral, hanya dalam wilayah Jatim dalam konteks Pilgub. Membuat kesepakatan ulama yang bersifat nasional dalam soal rekomendasi capres atau membidani sekian fatwa ulama agar masyarakat mendukung salah satu capres tertentu, mungkin teramat sulit.

Di tengah dikotomisasi masyarakat pemilih antara sekuler dan agama, atau bahkan ada yang abu-abu di antara keduanya, merupakan kesulitan tersendiri bagi ulama sektoral menggalang upaya kekuatan politik melalui ijtima' mereka untuk mendukung kandidat versi ijtima' ulama. Bukan apa-apa, politik kekuasaan lekat dengan nuansa rasionalitas yang kadang "terbebas" dari berbagai unsur keyakinan agama.

Walaupun kenyataannya ada saja para pemilih yang merepresantisakan pilihan politiknya berdasarkan rasa keagamaan, tetapi jumlahnya tak mungkin signifikan. Terlebih bahwa masyarakat justru akan lebih nyaman "mengikuti" para ulama yang jauh dari kecenderungan politik-kekuasaan dibanding menerima hasil ijtima' dari ulama yang dikategorikan sebagai "ulama politik".

Jangan sampai nanti ada kesan triumfalisme yang mampir pada perhelatan Pilpres 2019 kali ini, di mana muncul suatu sikap atau keyakinan bahwa kelompok merekalah yang lebih unggul dari sisi doktrin keagamaan, budaya, atau sistem sosial yang selalu merasa menang dari kelompok lainnya.

Bagi saya, Islam tak mengenal triumfalisme, sebagaimana tercermin dalam surat al-Baqarah 247, di mana pengangkatan Thalut menjadi raja bukan atas dasar keyakinan "lebih unggul" secara doktrin keagamaan atau sistem sosial, tetapi lebih kepada "pilihan" Tuhan didasarkan pada tipikal pemimpin yang luas ilmunya dan kemampuan fisiknya yang mumpuni. Dua kriteria ini saja sudah menafikan prinsip triumfalisme yang cenderung merasa paling unggul dari pihak lainnya.

Tapi, saya kira ada baiknya kita menunggu hasil ijtima' ulama soal siapa yang nanti diusung sebagai kontestan politik di Pilpres 2019. Dalam sistem demokratis, kebebasan memilih dan menentukan pilihan tentu saja bagian yang menjadi ranah kebebasan individual. Bahkan, tak ada larangan untuk menentukan atau mengusung siapapun kandidat yang dilabeli kemudian dengan kandidat hasil ijtima' ulama.

Saya tentu saja menghormati sikap ulama yang peduli dalam hal terobosan baru dalam kontestasi politik yang sebelumnya justru tak pernah ditunjukkan secara formal. Menanti hasil ijtima' ulama soal kandidat capres pada akhirnya akan menunjukkan, apakah memang itu murni dorongan agama dalam rangka "islah" (perbaikan sosial) ataukah sekadar hasrat politik agar mereka juga mampu terakomodasi dalam ruang-ruang kekuasaan. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun