Agak aneh sebenarnya jika radikalisme justru lahir dari masjid. Bagaimana tidak, dua entitas yang saling bertolak belakang---masjid dan radikalisme---namun justru dapat menyatu, menumbuhkan sebuah gairah baru untuk menyemai anti toleransi dan cenderung berkeinginan menyelesaikan masalah melalui cara-cara kekerasan.
Istilah "radikal" dalam konteks sikap keberagamaan tentu saja berkonotasi negatif, karena mengedepankan sikap pertentangan, permusuhan, bahkan cenderung menolak cara-cara damai dalam banyak hal. Jika masjid merupakan tempat yang paling aman dalam menyemai isu-isu kedamaian, toleransi, persatuan dan kesatuan, ketika terpapar radikalisme, ini ibarat karena nila setitik rusak susu sebelanga.
Apa yang ada dibenak orang ketika mendengar bahwa ada 40 masjid terpapar radikalisme di Jakarta? Bagi yang belum tahu, mungkin saja bertanya-tanya, masjid mana kira-kira yang dimaksud? Lalu, sejauh mana paparan radikalisme itu diukur, sehingga dapat membedakan ini masjid yang "bersih" dan ini masjid yang "terkontaminasi".
Informasi ini menjadi sangat sensitif di ruang publik, terlebih soal masjid mana saja yang terpapar radikalisme sejauh ini belum diungkap nama-nama masjidnya. Informasi yang berawal dari penelitian salah satu lembaga riset yang menyebut ada 40 masjid di Jakarta yang terindikasi radikal, memang perlu juga diklarifikasi kebenarannya.
Penting untuk mengembalikan fungsi masjid seutuhnya, sebagai tempat beribadah paling aman, damai, serta mampu menumbuhkembangkan kesatuan dan persatuan umat di dalamnya.
Melihat dari sisi historisnya, sebuah masjid dibangun memang bertujuan untuk mempererat nuansa solidaritas keumatan. Raison D'etre nya sangat jelas, menumbuhkan soliditas keumatan dengan salat berjamaah, mampu memberikan pemberdayaan kepada masyarakat baik dalam hal sosial, ekonomi, dan politik, dan yang paling penting berfungsi menjadi sekolah masyarakat dalam menata dan membentuk diri menjadi pribadi muslim yang taat, bukan menjadi "pemberontak".
Hal inilah yang dilakukan Nabi Muhammad disaat pertama kali hijrah ke Madinah, membangun masjid yang berfungsi sebagai sarana pemberdayaan umat dan simbol perekat ikatan-ikatan solidaritas sosial.
Memang sangat disayangkan, jika hasil penelitian ada yang menyebut terdapat sekian masjid yang ditengarai terpapar radikalisme. Kewajiban pemerintah memang untuk menindaklanjuti sejauh mana virus radikalisme ini bersemayam di masjid-masjid yang dimaksud. Saya mengapresiasi bahwa pemerintah DKI tak sembarangan mengungkap data masjid ini ke publik, sekalipun ada dorongan yang kuat dari unsur masyarakat.
Melalui teknik "soft approach" kelihatannya lebih banyak berdampak positif dengan tentu saja mengurangi tensi ketegangan di masyarakat. Upaya penyelesaian kasus-kasus radikalisme, memang harus didekati secara kemanusiaan, bukan ditangani dengan cara-cara kekerasan. Radikalisme itu "keras", maka dekatilah dengan "lembut" karena kelembutan seringkali berhasil menghalau kekerasan.
Lagi pula, menilai masjid ada yang terpapar radikalisme seakan membangun persepsi negatif pada tempat peribadatan umat Islam. Walaupun harus diakui, ada beberapa masjid yang menggelar beberapa kajian yang terindikasi radikal, karena pembahasannya justru seperti melawan atau mempersoalkan kelompok-kelompok Islam tertentu.
Tak tumbuhnya iklim toleransi terhadap sesama muslim, bisa jadi ini merupakan pintu masuk bagi sebuah masjid untuk lebih jauh bersentuhan dengan aspek-aspek radikalisme. Kajian-kajian terindikasi radikal inilah yang pada tataran tertentu membuat suatu masjid justru terkesan intoleran, memandang "musuh" kepada pihak lain yang berbeda pandangan keagamaan dengan kelompknya, sehingga wajar seringkali melakukan pengobaran semangat kebencian.
Namun, saya kira perlu berimbang dalam hal ini, sehingga tak menimbulkan kesan selalu simbol umat Islam yang distigmatisasi negatif. Dari mulai radikalisme, terorisme, pengumbar kebencian, bahkan hingga tempat ibadahnya sendiri dipantau dan dinilai sebagai bagian dari rangkaian gerakan-gerakan negatif tersebut.
Sikap Pemprov DKI Jakarta yang ditunjukkan oleh gubernurnya, Anies Baswedan, agar tidak gegabah dalam menilai hasil survei ini---soal 40 masjid terpapat radikalisme---muncul dari ungkapannya agar segera saja menunjukkan masjid mana saja yang terindikasi radikal. Sebab hal ini penting, apa sebenarnya ukuran dalam menilai kriteria radikalisme tersebut, sehingga publik pada akhirnya jelas memahami dan melihatnya sebagai upaya penilaian yang cukup fair.
Perlu ditelusuri lebih jauh, apa penyebab utama bahwa terdapat beberapa masjid di Jakarta yang ditengarai terpapar radikalisme. Apakah karena soal penceramahnya yang tidak menyejukkan, provokatif? Ataukah memang jamaahnya cenderung menyukai kajian-kajian yang bersifat propaganda, menyalahkan pihak lain yang tak se-ideologis, seraya meneguhkan asumsi kebenaran atas kelompoknya sendiri?
Atau memang ada hal lain yang mendorong pada upaya brain washing mengarahkan mindset setiap orang untuk anti toleransi dan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan beragam masalah? Ukuran-ukuran terpapar radikalisme memang harus jelas dan juga fair, sehingga tak menimbulkan kesan hanya satu umat beragama saja yang kemungkinan besar mudah menjadi radikal, sedangkan umat beragama lainnya tidak.
Radikalisme tak hanya disematkan apalagi dituduhkan hanya pada satu agama, tetapi ia muncul dari cara pandang seseorang yang salah terhadap realitas sosialnya. Bukan agamanya yang membuat seseorang menjadi radikal, terlebih masjidnya yang kemudian dicap sebagai sarang radikalisme. Radikalisme jelas tumbuh dari lingkungan diluar agama dan jauh dari lingkungan masjid.
Kalaupun kemudian ada yang mengkaitkan dengan agama ataupun masjid, itu hanya secara kebetulan saja bukanlah suatu pola umum yang diambil sebagai suatu kesimpulan. Disinilah barangkali, fungsi "soft approach" yang semestinya didahulukan, bukan memaparkan asumsi negatif soal masjid yang dianggap cikal bakal gerakan radikal.
Masjid dan radikalisme jelas dua hal berbeda, tak mungkin keduanya bersatu apalagi bekerjasama. Masjid adalah sarana penyemaian solidaritas keumatan, sedangkan radikalisme justru menjauhi lingkaran umat, memisahkan bahkan merusaknya demi tujuan nafsu pribadinya tak terkait sedikitpun dengan masjid apalagi agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H