Namun, saya kira perlu berimbang dalam hal ini, sehingga tak menimbulkan kesan selalu simbol umat Islam yang distigmatisasi negatif. Dari mulai radikalisme, terorisme, pengumbar kebencian, bahkan hingga tempat ibadahnya sendiri dipantau dan dinilai sebagai bagian dari rangkaian gerakan-gerakan negatif tersebut.
Sikap Pemprov DKI Jakarta yang ditunjukkan oleh gubernurnya, Anies Baswedan, agar tidak gegabah dalam menilai hasil survei ini---soal 40 masjid terpapat radikalisme---muncul dari ungkapannya agar segera saja menunjukkan masjid mana saja yang terindikasi radikal. Sebab hal ini penting, apa sebenarnya ukuran dalam menilai kriteria radikalisme tersebut, sehingga publik pada akhirnya jelas memahami dan melihatnya sebagai upaya penilaian yang cukup fair.
Perlu ditelusuri lebih jauh, apa penyebab utama bahwa terdapat beberapa masjid di Jakarta yang ditengarai terpapar radikalisme. Apakah karena soal penceramahnya yang tidak menyejukkan, provokatif? Ataukah memang jamaahnya cenderung menyukai kajian-kajian yang bersifat propaganda, menyalahkan pihak lain yang tak se-ideologis, seraya meneguhkan asumsi kebenaran atas kelompoknya sendiri?
Atau memang ada hal lain yang mendorong pada upaya brain washing mengarahkan mindset setiap orang untuk anti toleransi dan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan beragam masalah? Ukuran-ukuran terpapar radikalisme memang harus jelas dan juga fair, sehingga tak menimbulkan kesan hanya satu umat beragama saja yang kemungkinan besar mudah menjadi radikal, sedangkan umat beragama lainnya tidak.
Radikalisme tak hanya disematkan apalagi dituduhkan hanya pada satu agama, tetapi ia muncul dari cara pandang seseorang yang salah terhadap realitas sosialnya. Bukan agamanya yang membuat seseorang menjadi radikal, terlebih masjidnya yang kemudian dicap sebagai sarang radikalisme. Radikalisme jelas tumbuh dari lingkungan diluar agama dan jauh dari lingkungan masjid.
Kalaupun kemudian ada yang mengkaitkan dengan agama ataupun masjid, itu hanya secara kebetulan saja bukanlah suatu pola umum yang diambil sebagai suatu kesimpulan. Disinilah barangkali, fungsi "soft approach" yang semestinya didahulukan, bukan memaparkan asumsi negatif soal masjid yang dianggap cikal bakal gerakan radikal.
Masjid dan radikalisme jelas dua hal berbeda, tak mungkin keduanya bersatu apalagi bekerjasama. Masjid adalah sarana penyemaian solidaritas keumatan, sedangkan radikalisme justru menjauhi lingkaran umat, memisahkan bahkan merusaknya demi tujuan nafsu pribadinya tak terkait sedikitpun dengan masjid apalagi agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H