Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

THR dan Cerita Budaya Konsumtif

6 Juni 2018   11:57 Diperbarui: 7 Juni 2018   10:26 2455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu hari jelang Lebaran di mal Ciputra, Sabtu (24/6/2017), pengunjung ramai datang.(Mikhael Gewati/Kompas.com)

Banyak kritik dari berbagai ahli agar masyarakat kita tak mudah menjadi konsumtif karena pada akhirnya akan menumbuhkembangkan generasi bermental "peminta" bukan "pemberi". Budaya konsumtif tentu saja mendorong seseorang tergantung pada banyak hal, termasuk segala sesuatu yang sekiranya instan dan cepat dalam memenuhi keinginan pribadinya. 

Bukan tidak mungkin, bahwa korupsi adalah bagian dari budaya konsumtif yang memang telah menggejala dalam realitas bahkan fakta sosial di negeri ini. Mental peminta tampaknya tertanam kuat di dalam sanubari setiap orang, sehingga meminta jatah karena telah membantu suatu pekerjaan menjadi hal yang biasa dan dianggap wajar. Jadi, tak heran jika korupsi memang membudaya di negeri kita ini.

Diakui maupun tidak, produk tahunan pemerintah maupun perusahaan yang populer dengan istilah THR, juga bagian dari budaya konsumtif yang sulit dilepaskan dari gurita mental "peminta" masyarakat kita. 

Di mana ada THR selain hanya di Indonesia? Pun, di negeri Timur Tengah yang mayoritas muslim dan bersuka cita dengan datangnya Idul Fitri, tak ada kenaikan gaji atau bonus yang diperoleh di akhir-akhir ibadah puasa Ramadhan.

Budaya konsumtif ternyata berpengaruh besar terhadap bentuk kebijakan yang kemudian digulirkan pemerintah, tak hanya THR tapi mungkin tanpa sadar penetapan tanggal-tanggal libur tertentu, tak lepas dari dorongan kebiasaan konsumtif.

Kitapun dituntut untuk tidak heran dan bersikap wajar, ketika misalnya pemerintah terbebani utang yang sangat besar yang entah sampai kapan terbayar, bisa jadi setali tigauang dengan budaya konsumtif.

Ada hasrat yang kuat dan keinginan negara ini punya infrastruktur publik sebagaimana ditunjukkan oleh banyak negara maju lainnya yang sedemikian mengesankan. Malu jika Indonesia masih saja disebut bukan negara maju, maka tergeraklah mental peminta, memohon kepada negara-negara berkocek tebal mau melayani keinginan Indonesia yang tentu saja diselaraskan dengan syarat-syarat tertentu. Budaya konsumtif tak ubahnya mereka yang rela antri membeli sendal merek Crocs di salah satu pusat perbelanjaan beberapa tahun yang lalu.

Lalu, bagaimana dengan THR? Jika tiba-tiba pengusaha atau pemerintah tak memberlakukan THR, mungkin negara ini bisa bubar karena akan terjadi kerusuhan di sana-sini, mereka menuntut haknya agar dapat membeli apa saja yang ingin mereka beli. THR kemudian menjadi bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi dan dibayarkan, tak boleh ditahan apalagi dihilangkan. 

Begitu dahsyatnya budaya konsumtif yang benar-benar menggejala, hingga membentuk mental peminta yang sulit sekali memberangusnya. Saya tidak anti THR, karena mungkin saja itu "bonus tahunan" bagi saya, walaupun kadang bagi saya itu adalah rezeki yang datang tanpa diduga-duga saja.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa THR juga ternyata mendukung budaya konsumtif masyarakat kita semakin bertumbuh dan berkembang. Tanpa disadari, kita harus rela antri jauh-jauh hari untuk membeli tiket mudik lebaran dengan waktu yang telah kita tentukan. 

Bahkan, entah masuk akal atau tidak, dalam waktu beberapa jam sejak dibukanya antrian tiket, ternyata telah ludes terjual. Ini terjadi dari pelayanan tiket online, yang seakan mengejar hantu karena setiap kali di-booking, tiba-tiba tiket malah tak tersedia. 

Saya kira, anda yang pernah berjibaku mengorder tiket online pernah merasakan hal yang sama, gagal membeli tiket padahal penjualan baru beberapa saat dibuka. Budaya konsumtif memungkinkan para pemain "besar" mengeruk keuntungan dengan cara apapun, termasuk sudah terlebih dahulu "membeli" tiket dan dijual kembali dengan harga fantastis!

THR juga ternyata menjadi tuntutan keluarga yang terkontaminasi budaya konsumtif bermental peminta. Bagaimana kakak dan adek terus merengek minta dibelikan baju baru bergambar para super hero idolanya yang kesemuanya pahlawan produk asing. 

Tak mau kalah, sang istri tercinta kadang sudah jauh-jauh hari meminta jatah sekian persen dari total THR yang sedianya diterima para suami. Ternyata sangat "complicated" dari sebuah entitas bernama THR ini, tak bisa dianggap remeh atau hal biasa, merusaknya sama dengan menggeser budaya, menghilangkannya sama dengan menggusur agama.

Begitu lekatnya THR dengan Idul Fitri yang juga merupakan Hari Raya umat Islam, seakan-akan keberadaannya menjadi "wajib" secara hukum. Padahal, jika mau jujur bahwa setiap peristiwa yang besar, Islam mengajarkan untuk diperingati melalui puasa, mengekang kendali jiwa dan keinginan fisik agar tak sembrono dibiarkan mengikuti irama hawa nafsu. 

Peristiwa Arafah di tanggal 9 Dzulhijjah, peristiwa 10 Muharram, dan peristiwa diturunkannya al-Quran di bulan Ramadan, tak luput diisi dengan kegiatan peringatan yang dijalankan melalui aktivitas berpuasa. Ini artinya, Islam mengajarkan agar setiap orang tidak menjadi konsumtif atau bermental peminta, tetapi justru diarahkan menjadi manusia-manusia kreatif dan produktif, karena puasa lebih banyak mengajarkan bagaimana kita memberi bukan menerima.

Tanpa disadari, ajaran puasa yang menanamkan nilai-nilai produktivitas dan kreativitas kepada setiap orang yang melakukannya, tertimbun habis oleh budaya konsumtif melalui THR yang merajalela. Lalu, salahkah menjadi generasi bermental konsumtif dan peminta? Ah, tidak juga, di mana salahnya? Wajar dong cuma setahun sekali bersikap konsumtif kan gak tiap hari? 

Jika rata-rata melakukan pembelaan dengan alasan yang sangat masuk akal, berarti memang sulit untuk tidak mengakui bahwa tipikal masyarakat kita adalah konsumtif dengan mentalitas peminta bukan pemberi. Soalnya, memberi-pun hanya ramai dilakukan setiap tahun juga, di saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Lagi-lagi, pemberian itu dilabeli dengan nama "THR".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun