Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

THR dan Cerita Budaya Konsumtif

6 Juni 2018   11:57 Diperbarui: 7 Juni 2018   10:26 2455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu hari jelang Lebaran di mal Ciputra, Sabtu (24/6/2017), pengunjung ramai datang.(Mikhael Gewati/Kompas.com)

Saya kira, anda yang pernah berjibaku mengorder tiket online pernah merasakan hal yang sama, gagal membeli tiket padahal penjualan baru beberapa saat dibuka. Budaya konsumtif memungkinkan para pemain "besar" mengeruk keuntungan dengan cara apapun, termasuk sudah terlebih dahulu "membeli" tiket dan dijual kembali dengan harga fantastis!

THR juga ternyata menjadi tuntutan keluarga yang terkontaminasi budaya konsumtif bermental peminta. Bagaimana kakak dan adek terus merengek minta dibelikan baju baru bergambar para super hero idolanya yang kesemuanya pahlawan produk asing. 

Tak mau kalah, sang istri tercinta kadang sudah jauh-jauh hari meminta jatah sekian persen dari total THR yang sedianya diterima para suami. Ternyata sangat "complicated" dari sebuah entitas bernama THR ini, tak bisa dianggap remeh atau hal biasa, merusaknya sama dengan menggeser budaya, menghilangkannya sama dengan menggusur agama.

Begitu lekatnya THR dengan Idul Fitri yang juga merupakan Hari Raya umat Islam, seakan-akan keberadaannya menjadi "wajib" secara hukum. Padahal, jika mau jujur bahwa setiap peristiwa yang besar, Islam mengajarkan untuk diperingati melalui puasa, mengekang kendali jiwa dan keinginan fisik agar tak sembrono dibiarkan mengikuti irama hawa nafsu. 

Peristiwa Arafah di tanggal 9 Dzulhijjah, peristiwa 10 Muharram, dan peristiwa diturunkannya al-Quran di bulan Ramadan, tak luput diisi dengan kegiatan peringatan yang dijalankan melalui aktivitas berpuasa. Ini artinya, Islam mengajarkan agar setiap orang tidak menjadi konsumtif atau bermental peminta, tetapi justru diarahkan menjadi manusia-manusia kreatif dan produktif, karena puasa lebih banyak mengajarkan bagaimana kita memberi bukan menerima.

Tanpa disadari, ajaran puasa yang menanamkan nilai-nilai produktivitas dan kreativitas kepada setiap orang yang melakukannya, tertimbun habis oleh budaya konsumtif melalui THR yang merajalela. Lalu, salahkah menjadi generasi bermental konsumtif dan peminta? Ah, tidak juga, di mana salahnya? Wajar dong cuma setahun sekali bersikap konsumtif kan gak tiap hari? 

Jika rata-rata melakukan pembelaan dengan alasan yang sangat masuk akal, berarti memang sulit untuk tidak mengakui bahwa tipikal masyarakat kita adalah konsumtif dengan mentalitas peminta bukan pemberi. Soalnya, memberi-pun hanya ramai dilakukan setiap tahun juga, di saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Lagi-lagi, pemberian itu dilabeli dengan nama "THR".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun