Sudah banyak sekali cerita yang mengangkat soal keterbatasan seseorang tetapi dengan keikhlasannya justru memperlihatkan "kelebihan" dirinya dibanding orang lain. Cerita orang-orang kecil yang hampir tak terbayangkan oleh kita sendiri bahwa seseorang itu mampu melakukan sesuatu diluar kemampuan dirinya, hampir saja luput dari pandangan kita dan kitapun hanya dibuat terkesan olehnya. Itulah Keadilan Tuhan yang sesungguhnya, tanpa harus menunggu seluruh proses pengadilan-Nya di akhirat, Tuhan sudah menunjukkan sedikit saja kekuatan-Nya agar menjadi ibrah (pelajaran) yang seharusnya diambil dan dipahami oleh diri setiap orang.
Saya mengenal sosok sederhana, bersahaja, sehari-hari dikenal sebagai "marbot" di sebuah Mushala kecil di kawasan komplek perumahan wilayah Tangerang Selatan. Jangan mengkonotasikan marbot sebagai pelayan atau pembantu di sebuah rumah ibadah. Istilah "marbot", tentu saja bukan dikonotasikan pada seseorang yang bertugas menjaga, membersihkan, dan mempersiapkan segala sesuatu di masjid. Istilah "marbot" yang terambil dari istilah bahasa Arab "marbuthun" memiliki konotasi seseorang yang terikat atau berkecenderungan, sehingga ketika dikaitkan dengan masjid, berarti seseorang itu tergantung dan terikat dengan masjid. Sulit bagi seorang marbot untuk menjauh, karena masjid merupakan rumah kedua dalam benaknya.
Sebut saja namanya Edi Rahman, pria paruh baya perantauan asal Banjarmasin ini sudah sejak 1995 menginjakkan kaki di Jakarta. Bermodalkan ijazah diploma dalam bidang akuntansi, dirinya nekat mengadu nasib ke ibu kota, siapa tahu beruntung dan sukses menjadi seorang pekerja. Pilihan atas Jakarta sebagai kota yang dituju sebenarnya bukanlah keinginannya sendiri, tetapi kebetulan ajakan dari beberapa kawannya semasa kuliah yang sukses menjalani hidup di Kota Metropolitan ini. "Saya nekat aja pak, datang ke Jakarta tak ada sanak saudara, kecuali hanya teman semasa kuliah dulu", sejenak Pak Edi membuka obrolan dan menceritakan tentang dirinya.
Perkenalan saya lebih dekat dengan Pak Edi---begitu saya memanggilnya, dimulai ketika saya berinisiatif untuk merombak total mushala yang selama ini menjadi tempat kami beribadah dan berkumpul. Bak gayung bersambut, Pak Edi tampak sangat antusias ingin segera merealisasikan kegiatan ini, termasuk mematangkan perencanaan, membuat estimasi biaya, dan menunjuk tim yang kompeten untuk melakukan pekerjaan ini. Pengalamannya dalam hal pembangunan infrastruktur, termasuk segala hal terkait perencanaannya, merupakan modal utama yang sukses diimplementasikan kemudian dalam pembangunan Mushala Nurul Iman.
Proposal ramuan Pak Edi memang terkesan profesional dan banyak menarik simpati orang yang membacanya. Tak perlu butuh waktu terlalu lama, Pak Edi dan tim pembangunan mushala, selesai menggarap "proyek Rumah Tuhan" tak lebih dari kurun waktu 6 bulan dengan total biaya mencapai Rp 300.000.000, mushala itu berdiri tegak, bergaya minimalis modern, namun tetap menonjolkan aksen sebagai "mushala" melihat dari berbagai sisinya. Saya saja kadang tak habis pikir, dari mana biaya sebesar itu datang dan mampu membiayai seluruh pembangunan mushala, jika tak dibantu oleh "tangan-tangan" tak terlihat.
Lagi-lagi, Pak Edi sangat punya andil besar dalam merancang dan merencanakan pembangunan mushala itu secara matang, disitulah saya kemudian lebih dekat mengenal pria bertubuh gempal yang penuh kerendahan hati dan bersahaja ini. Pak Edi dikenal oleh hampir seluruh aktivis mushala sebagai sosok ringan tangan, tak perlu banyak bicara ketika ada hal yang harus dirinya kerjakan maka dikerjakannya seketika itu juga. Dirinya sangat peduli dengan kondisi pengeras suara mushala yang kadang harus memperbaiki sendiri corong suara yang diturunkannya dari ketinggian 15 meter! Kepeduliannya yang besar terhadap mushala itulah kenapa Pak Edi dianggap sebagai "marbot" di tempat ibadah yang baru direnovasi tersebut.
Ada hal lain yang bagi saya pribadi begitu terkesan dengan sosok yang irit bicara ini. Beberapa bulan yang lalu, kami pernah berbincang agak serius membahas beragam masalah dari mulai agama, sosial, dan bahkan politik. Bagi saya, sosok Edi Rahman adalah pribadi jujur, lapang dada, ikhlas yang mungkin sulit tergantikan. Dirinya adalah salah satu korban umrah bodong First Travel (FT) yang hampir tak pernah bercerita kepada siapapun, kecuali ketika saya pancing dalam sebuah pembicaraan. "Memang Pak Edi gak pernah curiga ketika banyak hal dijanjikan oleh model umrah seperti FT ini?"Â saya mencoba memancing dengan sebuah pertanyaan.
"Saya mungkin sulit menjadi orang yang curigaan, bagi saya kalaupun mereka membohongi saya, mereka akan rugi sendiri, walaupun tampaknya saya yang rugi", jawabnya yang kemudian diakhiri dengan helaan nafas panjang. Uang yang sudah disetor ke pihak FT oleh dirinya sudah sebesar Rp 17.000.000 dan itupun pernah dimintai lagi sebesar Rp 5 juta, namun kebetulan saat itu Pak Edi belum dapat memenuhi karena harus mengalihkan sisa tabungannya untuk tambahan biaya kuliah anaknya yang kedua. "Terus, Pak Edi gak coba urus soal dana penipuan umrah ini?" saya mencoba meyakinkan, siapa tahu jika diselesaikan, pihak FT bisa mengembalikan dananya walaupun tak utuh sepenuhnya.
Jawaban Pak Edi justru diluar dugaan saya, karena baginya semata-mata dana yang sudah disetorkan kalaupun raib, suatu saat dapat menjadi tabungan dirinya nanti di akhirat. Ia enggan mengurus dana umrah yang dianggapnya "amal" ini, karena dengan merasa kehilangan saja, bisa-bisa niat umrah yang selama ini dihadirkan bisa tercampur oleh hal duniawiyah sehingga mengurangi niat tulus ibadah itu sendiri.Â
"Biarlah Pak, barangkali Allah sedang menguji saya, semoga ini yang terbaik dalam pandangan dan ridha-Nya", jawabnya santai. Pak Edi sejak saat itu tak pernah lagi berpikir, kapan dirinya umrah, kecuali terus mempersiapkan diri dengan niat yang kuat, tulus, ikhlas dan berharap, Allah dapat mengizinkannya kembali untuk bertamu ke rumah-Nya di Tanah Suci.
Sepenggal cerita kegagalan berumrah ini sebenarnya bukanlah yang pertama kali dialami Pak Edi. Saya justru terheran-heran ketika pertanyaan saya tanpa sengaja menyinggung soal ibadah haji dan Pak Edi pernah mengalami kegagalan juga. Cerita ini berawal ketika dua tahun yang lalu, disaat dirinya menabung karena keinginannya mendaftar menjadi calon jamaah haji.Â
Uang Rp 28 juta hasil tabungannya selama beberapa tahun, ternyata gagal disetorkan untuk mendaftar, karena tiba-tiba saudara sepupunya yang serba kekurangan di Kalimantan membutuhkan biaya. Tanpa berat hati, Pak Edi-pun menyerahkan uang simpanan untuk haji tersebut, seraya berpikir, mungkin Allah belum juga mengizinkan saya untuk berkunjung ke Rumah-Nya.
Dana yang dipinjamkan kepada saudaranya ternyata tak kunjung kembali, bahkan hingga hari ini. Tapi Pak Edi tidak pernah mengeluh atau memaksakan diri bagaimanapun caranya agar dana yang telah raib itu dapat dimiliki kembali. Gagal melaksanakan haji atau umrah, semata-mata bukanlah kebetulan, tetapi semua adalah atas izin dan perkenan-Nya. Keadilan Tuhan suatu saat akan ditentukan, siapa saja yang "istimewa" pada akhirnya memenuhi undangan-Nya berkunjung dan menjadi tamu agung di Rumah-Nya, Baitullah. Itulah cara pandang Pak Edi, pasrah dan ikhlas karena manusia hanyalah 'abd (hamba) yang mengikuti apa saja yang dikehendaki-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H