Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nama "Kentut" dan Salah Kaprah Soal "Apalah Arti Sebuah Nama"

19 April 2018   11:53 Diperbarui: 19 April 2018   16:54 2765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak memahami apakah memang karena faktor ketidaktahuan atau memang keluguan orang tua yang sembarangan memberikan nama kepada buah hatinya. Belakangan media sosial dihebohkan dengan nama-nama yang "aneh" atau bahkan asing di telinga orang Indonesia. Tidak saja soal nama yang berkaitan dengan ibadah yang disalahartikan, seperti azan, shalat, bahkan tuhan.

Yang lucu lagi, viral seseorang dengan nama "anti dandruf", "dontworry", atau "royal jelly", kesemuanya merupakan cermin dari betapa lucunya dan lugunya orang-orang di negeri kita ini. Yang menggelikan, ada nama "kentut" seorang pedagang mie ayam di kawasan Tangerang, walaupun atas perjuangan di pengadilan, namanya berhasil diganti menjadi Ihsan Hadi.

Faktor pendidikan yang tidak merata atau informasi yang tidak mencerdaskan, membuat beberapa orang justru tak peduli dan bahkan tak menganggap penting arti sebuah nama. Saya kira, ini bukan persoalan kecil yang sekadar informasi yang menjadi bahan tertawaan atau olok-olokan yang viral di media sosial, tetapi harus ada pihak yang peduli, terutama dari pemerintah untuk memberikan pendidikan yang cukup dan memberdayakan masyarakat.

Lagi pula, seorang anak yang lahir, tentu saja ada akte kelahiran yang dibuat, sehingga nama-nama yang terkesan aneh semestinya dapat dikonsultasikan supaya dapat diubah, sebelum bertambah panjang masalah. Mungkin saja nama-nama aneh ini hanya sedikit, belum sepenuhnya terungkap oleh media.  

Dalam tradisi Islam, "nama" sangat diistimewakan bahkan diagungkan. Kata "ismun" dalam bahasa Arab yang berarti "nama" justru terambil dari kata "samaa" yang artinya "tempat yang tinggi". Bahkan dalam kitab Tafsir Ar-Razy, kata "ismun" terambil dari kata "wasama" yang berarti "segala sesuatu yang melekat".

Ketika nama mengandung arti "sesuatu yang ditinggikan" dan "melekat dalam diri seseorang" paling tidak, memberikan nama akan berkonotasi pada hal yang melekat (ciri) apapun yang bernilai "tinggi", istimewa dan terhormat. Sehingga Nabi Muhammad jelas melarang memberikan nama atau gelar buruk kepada seseorang, tetapi menyuruh agar memberikan nama yang baik, karena pemberian nama yang baik sama halnya dengan doa.

Semua mahluk dan benda di seluruh alam raya ini tentu memiliki nama dan nama yang disematkan adalah ciri yang melekat pada dirinya. Ini artinya, berlaku "inilah arti penting sebuah nama", karena setiap nama mungkin saja akan mengungkap lebih jauh, ciri yang melekat dalam dirinya.

Nama "Joko" atau "Bowo" misalnya, pasti lebih dekat pada nuansa Jawa, berbeda dengan nama "Deden" atau "Didin" pasti lebih kental nuansa Sunda-nya. Dalam banyak tradisi dan budaya, nama-nama bahkan menjadi sesuatu yang sakral, disucikan, atau sangat diagungkan, bahkan dengan menyebut namanya saja, beberapa orang bisa saja begidik bulu kuduknya atau bahkan menghindar untuk sekadar enggan mendengar namanya.

Lalu, apakah cukup karena ketidaktahuan orang tua atau kebodohan mereka yang memberikan nama-nama yang  buruk kepada anak-anaknya dan membiarkan begitu saja? Menjadi bahan hiburan dan tertawaan banyak orang, bahkan olok-olok yang tanpa henti?

Hal kecil seperti ini saja masih menunjukkan, betapa pendidikan itu ternyata hanya mampu diakses oleh orang-orang kota yang berduit, sehingga mereka yang ada di pelosok-pelosok tetaplah manusia-manusia lugu dan bodoh tak pernah paham sedikitpun arti penting sebuah pendidikan.

Yang paling mengharukan, suara-suara mereka yang lugu selalu dieksploitasi demi kepentingan politik, baik di pilkada maupun pilpres. Mereka hanya disuruh nyoblos, tapi setelah itu nasibnya kembali menjadi orang-orang lugu dan bodoh. Tak sedikit pun diperhatikan, jangankan untuk pendidikan, makan sehari-hari pun kadang seringkali mereka ngutang.

Aneh memang, bangsa ini seringkali menjadi bahan tertawaan oleh bangsa lain dan itu sudah terjadi semenjak dulu. Hal kecil soal nama, Indonesia itu paling unik dan simpel. Jika dalam tradisi Barat ada nama depan, tengah, dan belakang, maka di Republik ini cukup satu kata. Dalam tradisi bangsa Arab lebih rumit lagi, karena nasab (keturunan) harus dicantumkan sedemikian panjang, minimal 3 generasi.

Oleh karena itu, banyak nama-nama asal Indonesia, yang kemudian terpaksa harus dikonversi menjadi "tiga suku kata" untuk keperluan-keperluan mengikuti aturan kependudukan negara lain. Hal ini menjadi rumit, terlebih ketika jelang pelaksanaan ibadah haji, karena banyak nama-nama yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, hanya satu suku kata saja namanya.  

Adagium "apalah arti sebuah nama" justru menjadi salah kaprah dan dipahami oleh mereka yang kurang atau tidak berpendidikan untuk asal saja menyematkan nama pada anak-anaknya. Nama seakan menjadi hal yang tidak penting bagi mereka, karena faktor pendidikan yang kurang atau bahkan terbelakang.

Menyedihkan memang, karena tak ada upaya apapun dari pihak pemerintah terkait memberikan pemberdayaan atau edukasi yang baik kepada masyarakat yang akan memberikan dampak terhadap persoalan ini. Pak Kentut yang saat ini sudah berganti nama, harus berjuang melalui serangkaian proses pengadilan, hanya untuk sekadar mengganti namanya yang tak patut disematkan dalam kartu identitas kependudukan dirinya.

Saya kira, penting juga memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk tidak ngasal dalam memberikan nama, karena selain memiliki dampak signifikan terhadap berbagai identitas formal yang akan dipergunakannya sebagai warga negara, nama adalah doa yang sengaja dititipkan ayah atau ibu kita kepada setiap diri pribadi anak-anaknya yang melekat, sehingga selaras dengan apa yang diharapkan.

Nama memiliki arti yang sangat penting, karena kemuliaan manusia ada pada namanya yang menjadi ciri khas melekat dalam dirinya sendiri. Itulah pada akhirnya istilah "nama" atau "sawama" atau "isma" berkonotasi pada sesuatu yang ditinggikan atau dihormati, bukan gelar atau kepangkatan karena itu jelas bisa dibeli atau diakali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun