Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nama "Kentut" dan Salah Kaprah Soal "Apalah Arti Sebuah Nama"

19 April 2018   11:53 Diperbarui: 19 April 2018   16:54 2765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aneh memang, bangsa ini seringkali menjadi bahan tertawaan oleh bangsa lain dan itu sudah terjadi semenjak dulu. Hal kecil soal nama, Indonesia itu paling unik dan simpel. Jika dalam tradisi Barat ada nama depan, tengah, dan belakang, maka di Republik ini cukup satu kata. Dalam tradisi bangsa Arab lebih rumit lagi, karena nasab (keturunan) harus dicantumkan sedemikian panjang, minimal 3 generasi.

Oleh karena itu, banyak nama-nama asal Indonesia, yang kemudian terpaksa harus dikonversi menjadi "tiga suku kata" untuk keperluan-keperluan mengikuti aturan kependudukan negara lain. Hal ini menjadi rumit, terlebih ketika jelang pelaksanaan ibadah haji, karena banyak nama-nama yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, hanya satu suku kata saja namanya.  

Adagium "apalah arti sebuah nama" justru menjadi salah kaprah dan dipahami oleh mereka yang kurang atau tidak berpendidikan untuk asal saja menyematkan nama pada anak-anaknya. Nama seakan menjadi hal yang tidak penting bagi mereka, karena faktor pendidikan yang kurang atau bahkan terbelakang.

Menyedihkan memang, karena tak ada upaya apapun dari pihak pemerintah terkait memberikan pemberdayaan atau edukasi yang baik kepada masyarakat yang akan memberikan dampak terhadap persoalan ini. Pak Kentut yang saat ini sudah berganti nama, harus berjuang melalui serangkaian proses pengadilan, hanya untuk sekadar mengganti namanya yang tak patut disematkan dalam kartu identitas kependudukan dirinya.

Saya kira, penting juga memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk tidak ngasal dalam memberikan nama, karena selain memiliki dampak signifikan terhadap berbagai identitas formal yang akan dipergunakannya sebagai warga negara, nama adalah doa yang sengaja dititipkan ayah atau ibu kita kepada setiap diri pribadi anak-anaknya yang melekat, sehingga selaras dengan apa yang diharapkan.

Nama memiliki arti yang sangat penting, karena kemuliaan manusia ada pada namanya yang menjadi ciri khas melekat dalam dirinya sendiri. Itulah pada akhirnya istilah "nama" atau "sawama" atau "isma" berkonotasi pada sesuatu yang ditinggikan atau dihormati, bukan gelar atau kepangkatan karena itu jelas bisa dibeli atau diakali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun