Tidak hanya itu, tragedi-tragedi kemanusiaan akibat orang-orang kafir dan munafik di zaman Nabi, tak ubahnya tragedi belakangan ini, mengumbar retorika dengan keberpihakan kepada hawa nafsu: banyak bicara, tenggelam dalam pembicaraan yang bathil, berkata keji, mengumpat, melaknat, memfitnah, ghibah, memuji secara berlebihan dan lain sebagainya.
Tepat sekali disaat Imam Al-Ghazali menyebut adab sebagai prasyarat bagi keimanan dan ketauhidan. Karena baginya, keimanan merupakan tuntunan yang menghendaki syari'at dan syari'at sendiri merupakan tuntunan yang menghendaki adanya pendidikan (adab).Â
Bagaimana seseorang mengaku sebagai pembela syari'at sedangkan disisi lain dirinya tak mencerminkan sikap beradab? Orang-orang yang mendapatkan didikan-didikan (adab), maka Allah akan menerangi hatinya dengan ma'rifat yang tentu saja akan melahirkan potensi-potensi kebaikan yang selalu diaktualisasikan dalam kehidupannya sehari-hari.Â
Itulah kenapa, iman bukan sekadar meyakini, tetapi meyelaraskan antara perkataan dan perbuatan. Adab akan menuntun setiap orang menyelaraskan antara ucapan dan perbuatannya, sehingga seluruh potensi yang ada dalam dirinya diaktualisasikan menjadi buah akhlaq yang terus tumbuh menjadi kenikmatan yang setiap saat lezat disantap, menyenangkan dan pasti membahagiakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H