Dalam diri seseorang selalu ada hal potensial yang tentu saja dapat diubah menjadi hal yang bersifat aktual. Api misalnya, memang tak bisa diciptakan manusia, tetapi potensi manusia dalam  menghadirkan api dengan memanfaatkan gesekan-gesekan kayu, pada akhirnya merubah sesuatu yang potensial menjadi aktual.Â
Api, dalam banyak hal sangat bermanfaat ketika diaktualisasikan dengan baik. Tidak hanya soal energinya yang kemudian dialih-dayakan menjadi bentuk energi lain yang lebih dahsyat, api juga merupakan kebutuhan hidup yang tak bisa dilepaskan dari seluruh dimensi keseharian manusia.
Namun, keberadaan api, bisa saja menjadi buruk dan berbahaya, karena daya rusaknya yang luar biasa dalam berbagai hal. Proses aktualisasi manusia dalam upaya menghadirkan api yang dijalankan kemudian melalui latihan dan praktik, itulah yang seringkali disebut tabiat.Â
Tabiat bisa membentuk seseorang menjadi baik atau buruk, tergantung pada proses aktualisasinya. Meskipun tabiat sesungguhnya merupakan proses aktualisasi dari yang benar (haqq) secara fitrah kemanusiaan, terkadang bisa saja melenceng karena kuatnya dorongan hawa nafsu. Manusia tentu saja tidak bisa menciptakan tabiat, tapi berpotensi membentuk dan merawatnya menjadi suatu energi positif yang dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan banyak orang.
Tak ubahnya dengan "adab" yang juga proses potensial kemanusiaan yang senantiasa digali dan senantiasa diaktualisasikan. Adab tak hanya sekadar realisasi dari bentuk ekspresi, namun jauh dari itu melekat dalam diri setiap orang menjadi "prilaku" yang mencakup di dalamnya ujaran dan tindakan yang bertujuan mulia: pembinaan manusia dan meningkatkan derajat kemuliaan manusia itu sendiri.
Menarik ketika Imam Al-Ghazali menyebut "adab" sebagai hasil dari pendidikan aspek lahir dan batin, dimana ketika aspek lahiriah seseorang terbina, maka secara otomatis batiniah akan mengikutinya, mendisiplinkan diri dengan berbagai hal termasuk menyerap seluruh proses pendidikan yang diperolehnya.
Sangat disayangkan, ketika hal yang potensial dalam diri manusia yang semestinya dapat diaktualisasikan secara baik dalam memperoleh dan mencari kemanfaatan hidup, justru diselewengkan dan dikotori oleh dorongan liar hawa nafsunya sendiri.Â
Jika dulu Rasulullah membatasi agar orang jangan terlalu panjang beretorika karena akan berdampak keburukan, kini nuansa retoris saling bersahutan, bahkan cederung saling menjelekkan dengan tujuan kehancuran pihak lain.Â
Bukankah Rasulullah adalah orang yang senantiasa memendekkan retorikanya? Bahkan sahabat Abu Bakar dan Umar jauh lebih sering memendekkan pidatonya ketimbang Rasulullah. Itulah sebabnya, Rasulullah bersabda, "Wahai manusia, berbicaralah menurut kata hatimu, jangan sampai kalian berbicara karena dorongan setan, sebab berbicara banyak itu dari setan".
Asy-Syahrastani dalam kitabnya "al-Milal wa an-Nihal" secara tegas menyebutkan, bahwa penduduk dunia ini secara garis besar terbagi kedalam dua bagian: para pengikut agama (Hizbullah) dan para pengikut hawa nafsu (Hizbussyaithan).Â
Tak dapat juga dipungkiri, bahwa tragedi manusia pertama kali adalah juga soal hawa nafsu yang liar diikuti, sebagaimana ketika Adam yang terbuai retorika Iblis yang panjang lebar dan kemudian tunduk serta mengikuti hawa nafsunya sendiri.Â