Bukan lagi suatu hal yang aneh, jika para politisi saling serang dengan ungkapan-ungkapan nyinyir yang menggelikan. Jika dalam narasi keagamaan ada istilah "takfiri" yang sempat menghebohkan dimana muncul ungkapan satu pihak "mengkafirkan" pihak lain, para politisi mungkin lebih parah lagi, narasi yang mereka kemukakan di depan publik tak lebih dari narasi politik kelas jamban.Â
Bagaimana tidak, ketika ungkapan "comberan" dibalas dengan "kotoran" bukankah itu gambaran dunia jamban? Â Padahal, dalam dunia jamban, soal sanitasi itu perlu, sehingga "jambanisasi" tidak terkesan menjijikkan, tapi justru memberikan kenyamanan bagi setiap penggunanya.
Dalam politik yang serba "kotor", saya kira memang perlu "sanitasi", dimana ada dorongan membiasakan diri berprilaku "bersih" sebagai contoh yang pada akhirnya dapat ditiru masyarakat.Â
Politik semestinya dapat dimaknai secara baik, karena didalamnya penuh dengan ajakan kepada masyarakat untuk ikut serta secara politis membangun kesejahteraan.Â
Perwujudan institusi politik yang terikat dalam wadah besar demokrasi, bertujuan sangat mulia membangun masyarakat yang bersih, berkeadilan, makmur, dan juga sejahtera. Tujuan politik nasional itu tentu saja tak pantas dikotori oleh ulah para politisi yang justru tak sabaran, jatuh dalam kubangan politik kelas jamban.
Panasnya udara jelang tahun politik, tak semestinya dikotori oleh polusi narasi para politikus yang semakin menambah "kotor"nya sistem politik. Alangkah lebih bijak dan lebih baik membangun narasi solutif bagi sengkarutnya persoalan bangsa yang semakin hari semakin tak terselesaikan. Demokrasi bukan sekadar pesta politik lima tahunan yang habis energinya oleh praktik perebutan kekuasaan.Â
Demokrasi justru upaya "sanitasi politik" agar dapat menciptakan dunia kepolitikan tampak lebih bersih, kuat, efisien dengan tujuan-tujuan bersama jangka panjang untuk membangun sistem kemasyarakatan yang lebih paripurna. Menggelikan rasanya, jika demokrasi sebagai "sanitasi" Â tapi dikotori oleh narasi sekelas jamban yang semakin berseliweran.
Bagi saya, narasi kelas jamban yang diumbar para politisi, bukan dimaksud sebagai tandingan atas narasi soal partai setan atau partai tuhan. Menyoal dikotomisasi dua bentuk partai ini yang sekarang santer di ruang publik, bukanlah menjadi alasan para politisi mengumbar ejekannya di ruang publik.
Saya yakin, setan tak mungkin berpartai, terlebih Tuhan yang justru Maha Kuasa dan Maha Perkasa tak butuh persekutuan apapun dan siapapun. Tuhan itu Maha Esa, Tunggal dalam Dzat-nya, hanya orang-orang musyrik yang kemudian menyekutukan Tuhan. Salah dalam memahami soal "partai setan" dan "partai Tuhan", bagi saya justru menggelincirkan para politisi pada akhirnya, jatuh terjerembab dalam narasi kotor yang jauh dari nilai-nilai Ketuhanan itu sendiri.
Demokrasi kita ini masih jauh dari harapan, levelnya mungkin saja masih "kelas kambing" karena budaya transaksional yang mengental, tak ubahnya seperti pasar yang diramaikan oleh transaksi penjual dan pembeli. Jika sepakat dengan harga yang cocok, barang kemudian dijual kembali dan ditawarkan kepada rakyat untuk dibeli.Â
Proses transaksi jual-beli ini terjadi antara para calo dan pedagang yang justru memiliki modal besar dan stok barang melimpah. Unik memang, tetapi itulah kenyataan dalam sebuah dunia demokrasi transaksional. Para politisi ibarat barang dagangan yang ketika diumbar kecacatannya, mereka merana, memberontak, membabi-buta, karena khawatir seluruh stok barang dagangannya yang lain, justru tak laku dibeli. Â
Saya kira, sehatnya sebuah demokrasi memang harus ditopang para elit politik yang juga sehat, baik dalam soal nalar maupun narasi politiknya. Jika demokrasi diibaratkan "sanitasi politik", maka sudah semestinya prilaku bersih dan terhormat para elit dan politisi ditularkan dan menjadi teladan bagi masyarakat. Alangkah menggelikan jika prilaku bersih tak ditunjukkan, karena bagaimanapun, prilaku para elit akan berdampak luas, diikuti oleh para pengikutnya bahkan hingga ke pelosok-pelosok terjauh di negeri ini.
Jelang tahun politik ini malah tak ubahnya seperti pasar, gaduh, riuh, penuh upaya transaksional. Siapa saja berhak berteriak menjajakan dagangan politiknya, penuh persaingan tanpa mengedepankan akal sehat.Â
Ruang publik tak ubahnya arena akrobatik yang cenderung destruktif, saling serang dan saling caci tak jelas arah. Padahal---meminjam istilah Goode---demokrasi semestinya terbangun karena ruang publik selalu linier dengan norma dan ekspektasi masyarakat.Â
Demokrasi seharusnya diisi oleh nilai-nilai keadaban dan ruang publik semestinya dipergunakan sebagai sarana membangun panggung diskursus konstruktif. Namun yang terjadi, demokrasi dikotori oleh ulah para politisi yang kehilangan pijakan moral dan ruang publik malah sumpek oleh polusi narasi yang mendekonstrusi keadaban dan kearifan demokrasi itu sendiri.
Mungkin benar ketika ada yang menggambarkan negeri kita ini sekadar pseudo demokrasi atau "demokrasi banci" yang tak jelas statusnya. Disatu sisi kita berharap akan sebuah negeri makmur dan sejahtera dalam bingkai demokrasi kerakyatan yang linier dengan nilai-nilai politik ketimuran, namun disisi lain, para pemimpin dan elitnya, masih belum sanggup menjalankannya, sekadar berebut pengaruh yang mewujud dalam bentuk transaksionalisasi politik tranpa berlandaskan moral. Narasi-narasi kepolitikan belakangan menunjukkan, demokrasi hanya berada pada level "kelas kambing", riuh-gaduh "mengembik", seakan melabrak fatsoen kepolitikan yang selama ini terbangun. Lalu, dimana demokrasinya? Hanya proses yang 5 tahunan itu?
Anehnya, kita-pun malah ikut-ikutan terbawa arus narasi politik kelas jamban, sebagaimana citra yang ditunjukkan para elit politiknya. Bukankah itu yang terjadi selama ini? Lihatlah media sosial yang hiruk-pikuk oleh narasi kelas jamban, saling membungkam dan menjatuhkan pihak lawan dengan kalimat-kalimat ejekan yang lebih parah dari sekadar kelas jamban.Â
Moralitas kita telah runtuh dan berdampak pada kehancuran model demokrasi kita yang mulai menjauhi fatsoen politik. Memang, saya meyakini, tak semua elit berprilaku demikian, karena tak sedikit juga yang konsisten menjaga pilar-pilar moralitasnya, hanya sayang, yang muncul dalam ruang publik justru mereka yang terkesan kurang wawasan karena mengumbar narasi penuh kebencian.
Lucunya, tak hanya ruang media sosial yang diramaikan oleh narasi kelas jamban seperti ini, terkadang media konvensional juga tertarik untuk mempublikasikannya demi tujuan-tujuan politik atau sekadar meningkatkan popularitas keterbacaan di ruang publik, dengan tanpa sadar justru membangun opini destruktif ditengah masyarakat. Ah, sudahlah, saya hanya menikmati setiap bacaan yang tertera di ruang publik, sambil menikmati kopi pahit rasa nasionalisme, menyeruputnya hingga tanpa sisa tak peduli ampas yang yang masih tertinggal di gigi. Selamat nyruput, bung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H