Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Narasi Politik Kelas "Jamban"

17 April 2018   10:41 Diperbarui: 17 April 2018   11:31 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas Regional

Saya kira, sehatnya sebuah demokrasi memang harus ditopang para elit politik yang juga sehat, baik dalam soal nalar maupun narasi politiknya. Jika demokrasi diibaratkan "sanitasi politik", maka sudah semestinya prilaku bersih dan terhormat para elit dan politisi ditularkan dan menjadi teladan bagi masyarakat. Alangkah menggelikan jika prilaku bersih tak ditunjukkan, karena bagaimanapun, prilaku para elit akan berdampak luas, diikuti oleh para pengikutnya bahkan hingga ke pelosok-pelosok terjauh di negeri ini.

Jelang tahun politik ini malah tak ubahnya seperti pasar, gaduh, riuh, penuh upaya transaksional. Siapa saja berhak berteriak menjajakan dagangan politiknya, penuh persaingan tanpa mengedepankan akal sehat. 

Ruang publik tak ubahnya arena akrobatik yang cenderung destruktif, saling serang dan saling caci tak jelas arah. Padahal---meminjam istilah Goode---demokrasi semestinya terbangun karena ruang publik selalu linier dengan norma dan ekspektasi masyarakat. 

Demokrasi seharusnya diisi oleh nilai-nilai keadaban dan ruang publik semestinya dipergunakan sebagai sarana membangun panggung diskursus konstruktif. Namun yang terjadi, demokrasi dikotori oleh ulah para politisi yang kehilangan pijakan moral dan ruang publik malah sumpek oleh polusi narasi yang mendekonstrusi keadaban dan kearifan demokrasi itu sendiri.

Mungkin benar ketika ada yang menggambarkan negeri kita ini sekadar pseudo demokrasi atau "demokrasi banci" yang tak jelas statusnya. Disatu sisi kita berharap akan sebuah negeri makmur dan sejahtera dalam bingkai demokrasi kerakyatan yang linier dengan nilai-nilai politik ketimuran, namun disisi lain, para pemimpin dan elitnya, masih belum sanggup menjalankannya, sekadar berebut pengaruh yang mewujud dalam bentuk transaksionalisasi politik tranpa berlandaskan moral. Narasi-narasi kepolitikan belakangan menunjukkan, demokrasi hanya berada pada level "kelas kambing", riuh-gaduh "mengembik", seakan melabrak fatsoen kepolitikan yang selama ini terbangun. Lalu, dimana demokrasinya? Hanya proses yang 5 tahunan itu?

Anehnya, kita-pun malah ikut-ikutan terbawa arus narasi politik kelas jamban, sebagaimana citra yang ditunjukkan para elit politiknya. Bukankah itu yang terjadi selama ini? Lihatlah media sosial yang hiruk-pikuk oleh narasi kelas jamban, saling membungkam dan menjatuhkan pihak lawan dengan kalimat-kalimat ejekan yang lebih parah dari sekadar kelas jamban. 

Moralitas kita telah runtuh dan berdampak pada kehancuran model demokrasi kita yang mulai menjauhi fatsoen politik. Memang, saya meyakini, tak semua elit berprilaku demikian, karena tak sedikit juga yang konsisten menjaga pilar-pilar moralitasnya, hanya sayang, yang muncul dalam ruang publik justru mereka yang terkesan kurang wawasan karena mengumbar narasi penuh kebencian.

Lucunya, tak hanya ruang media sosial yang diramaikan oleh narasi kelas jamban seperti ini, terkadang media konvensional juga tertarik untuk mempublikasikannya demi tujuan-tujuan politik atau sekadar meningkatkan popularitas keterbacaan di ruang publik, dengan tanpa sadar justru membangun opini destruktif ditengah masyarakat. Ah, sudahlah, saya hanya menikmati setiap bacaan yang tertera di ruang publik, sambil menikmati kopi pahit rasa nasionalisme, menyeruputnya hingga tanpa sisa tak peduli ampas yang yang masih tertinggal di gigi. Selamat nyruput, bung!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun