Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Narasi Politik Kelas "Jamban"

17 April 2018   10:41 Diperbarui: 17 April 2018   11:31 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan lagi suatu hal yang aneh, jika para politisi saling serang dengan ungkapan-ungkapan nyinyir yang menggelikan. Jika dalam narasi keagamaan ada istilah "takfiri" yang sempat menghebohkan dimana muncul ungkapan satu pihak "mengkafirkan" pihak lain, para politisi mungkin lebih parah lagi, narasi yang mereka kemukakan di depan publik tak lebih dari narasi politik kelas jamban. 

Bagaimana tidak, ketika ungkapan "comberan" dibalas dengan "kotoran" bukankah itu gambaran dunia jamban?  Padahal, dalam dunia jamban, soal sanitasi itu perlu, sehingga "jambanisasi" tidak terkesan menjijikkan, tapi justru memberikan kenyamanan bagi setiap penggunanya.

Dalam politik yang serba "kotor", saya kira memang perlu "sanitasi", dimana ada dorongan membiasakan diri berprilaku "bersih" sebagai contoh yang pada akhirnya dapat ditiru masyarakat. 

Politik semestinya dapat dimaknai secara baik, karena didalamnya penuh dengan ajakan kepada masyarakat untuk ikut serta secara politis membangun kesejahteraan. 

Perwujudan institusi politik yang terikat dalam wadah besar demokrasi, bertujuan sangat mulia membangun masyarakat yang bersih, berkeadilan, makmur, dan juga sejahtera. Tujuan politik nasional itu tentu saja tak pantas dikotori oleh ulah para politisi yang justru tak sabaran, jatuh dalam kubangan politik kelas jamban.

Panasnya udara jelang tahun politik, tak semestinya dikotori oleh polusi narasi para politikus yang semakin menambah "kotor"nya sistem politik. Alangkah lebih bijak dan lebih baik membangun narasi solutif bagi sengkarutnya persoalan bangsa yang semakin hari semakin tak terselesaikan. Demokrasi bukan sekadar pesta politik lima tahunan yang habis energinya oleh praktik perebutan kekuasaan. 

Demokrasi justru upaya "sanitasi politik" agar dapat menciptakan dunia kepolitikan tampak lebih bersih, kuat, efisien dengan tujuan-tujuan bersama jangka panjang untuk membangun sistem kemasyarakatan yang lebih paripurna. Menggelikan rasanya, jika demokrasi sebagai "sanitasi"  tapi dikotori oleh narasi sekelas jamban yang semakin berseliweran.

Bagi saya, narasi kelas jamban yang diumbar para politisi, bukan dimaksud sebagai tandingan atas narasi soal partai setan atau partai tuhan. Menyoal dikotomisasi dua bentuk partai ini yang sekarang santer di ruang publik, bukanlah menjadi alasan para politisi mengumbar ejekannya di ruang publik.

Saya yakin, setan tak mungkin berpartai, terlebih Tuhan yang justru Maha Kuasa dan Maha Perkasa tak butuh persekutuan apapun dan siapapun. Tuhan itu Maha Esa, Tunggal dalam Dzat-nya, hanya orang-orang musyrik yang kemudian menyekutukan Tuhan. Salah dalam memahami soal "partai setan" dan "partai Tuhan", bagi saya justru menggelincirkan para politisi pada akhirnya, jatuh terjerembab dalam narasi kotor yang jauh dari nilai-nilai Ketuhanan itu sendiri.

Demokrasi kita ini masih jauh dari harapan, levelnya mungkin saja masih "kelas kambing" karena budaya transaksional yang mengental, tak ubahnya seperti pasar yang diramaikan oleh transaksi penjual dan pembeli. Jika sepakat dengan harga yang cocok, barang kemudian dijual kembali dan ditawarkan kepada rakyat untuk dibeli. 

Proses transaksi jual-beli ini terjadi antara para calo dan pedagang yang justru memiliki modal besar dan stok barang melimpah. Unik memang, tetapi itulah kenyataan dalam sebuah dunia demokrasi transaksional. Para politisi ibarat barang dagangan yang ketika diumbar kecacatannya, mereka merana, memberontak, membabi-buta, karena khawatir seluruh stok barang dagangannya yang lain, justru tak laku dibeli.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun