Gaduh soal puisi yang dibacakan Putri Proklamator RI, Sukmawati Soekarnoputri ternyata masih terus bergulir, meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf. Bahkan, ketika Sukmawati sowan ke kantor MUI, dirinya diterima dengan baik bahkan KH Ma'ruf Amin selaku Ketua Umum MUI tampak berbesar hati memaafkan.Â
Foto Sukmawati cium tangan Kiai Ma'ruf, tampak beredar menghiasa berbagai media, pertanda MUI sudah "melupakan" soal puisi "Ibu Indonesia" yang dianggap telah menyinggung perasaan umat Islam. Kiai Ma'ruf nampaknya menyadari, bahwa memaafkan tentu saja ajaran agung yang selalu dipraktikkan Nabi Muhammad, bahkan "saling memaafkan" tentu saja ciri utama mereka yang bertakwa kepada Tuhan.
Lain halnya dengan Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang menganggap MUI tidak adil karena dengan mudahnya memaafkan Sukmawati. Bahkan, dalam sebuah rilis media, Humas PA 212 yang diwakili Novel Bamukmin menyatakan, bahwa masalah ini bukan menjadi kapasitas umat Islam yang memaafkan, tetapi hak Tuhan (cnnindonesia.com, 06/04/2018).Â
Pernyataan ini, bagi saya memiliki persoalan, karena seharusnya jika sudah menjadi hak Tuhan, maka selesailah urusan dan manusia tidak berhak menentukan, seseorang berdosa atau tidak. Kewajiban manusia---menurut saya---adalah meminta maaf jika ada kesalahan dan setelah itu semuanya serahkan kepada Tuhan.
Lagi pula, sebagai muslim saya meyakini, bahwa salah satu sifat Tuhan yang disebut dalam kitab suci Al-Quran adalah "Al-Ghaffaar" (Maha Pemaaf). Menarik sebenarnya jika mengupas sifat Tuhan yang satu ini, karena kata "ghaffaar" merupakan "sighat mubalaghah" (sesuatu hal yang bermakna 'paling' atau ada 'penekanan' kata berkonotasi 'banyak' didalamnya). Oleh karena itu, kata "ghaffaar" yang terambil dari asal kata "ghafara" (memberikan maaf) sesungguhnya memiliki kototasi "banyak maafnya" (katsiirulghufraan), bahkan akan "menutupi kesalahannya setelah memberikan maaf" (satru wa al-musamahah). Tuhan tentu saja tak sekadar "memaafkan" tetapi akan "menutupi" kesalahan yang dilakukan seseorang.
Saya teringat akan sebuah ungkapan Nabi Muhammad yang sedemikian terkenal, "Jangan marah, jangan membenci" (la taghdlab) bahkan diulang kata-katanya sebanyak dua kali dihadapan para sahabat-sahabanya. Bahkan, dalam banyak kesempatan Nabi selalu mengingatkan, bahwa sesama muslim harus saling menutupi kesalahan, bukan mengumbarnya dan lebih jauh, Nabi mewasiatkan bahwa seorang muslim yang baik adalah mereka yang mau menyelamatkan muslim lainnya dari kesalahan, baik karena ucapan atau perbuatannya (man salima al-muslimuuna min lisaanihi wa yadihi). Saya kira, Kiai Ma'ruf benar-benar menjadi tauladan umat saat ini, karena dengan besar hati memaafkan kesalahan sesama muslim sekaligus menutupinya dari kesalahan lain.
Walaupun saya secara pribadi, tetap menghormati setiap proses hukum yang sedang berjalan, tetapi memaafkan tentu lebih baik, karena itulah sebenarnya sikap seorang muslim yang sesuai syariat Islam. Saya tidak sedang melakukan pembenaran dalam soal agama, tetapi inilah bagian dari agama Islam yang sejauh ini saya pahami.Â
Memberikan maaf, tentu sangat sulit, apalagi melupakan kesalahan orang lain yang nyata-nyata menyakiti kita sendiri. Saya justru berasumsi, bahwa ketika Nabi Isa AS menyatakan, "kebaikan itu bukan karena adanya pihak lain berbuat baik kepada kita, tetapi karena pihak lain berbuat buruk kepada kita", justru ini pula yang kemudian meresap menjadi bagian terpenting dalam diri Nabi Muhammad, selalu memberi maaf kepada siapapun tanpa membeda-bedakan tingkat kesalahannya seperti apa.
Saya sendiri mengagumi upaya yang dilakukan Kiai Ma'ruf, karena tentu saja ini merupakan cermin paling jelas dari sikap seorang muslim yang paling baik: menahan marah dan tentu saja memaafkan.Â
Secara tegas, sikap ini digambarkan oleh Al-Quran sebagai sifat ketakwaan, dimana salah satu cirinya adalah menahan marah (al-kaadhimiin al-ghaydh) dan memaafkan antarsesama (al-a'fiina 'aninnaas). Surat Ali Imran ayat 34 menyebutkan, "(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan".
Setiap kesalahan tentu saja masuk didalamnya unsur kekhilafan, kesengajaan, ketidaktahuan yang bercampur menjadi satu. Tak ada manusia yang tak pernah bersalah, bahkan Nabi Muhammad-pun pernah bersalah, walaupun setiap kesalahan seorang nabi langsung dapat teguran dari Tuhan. Oleh karenanya, disebut "manusia" yang jelas diadopsi dari itilah bahasa Arab, "an-naas" atau "al-insan" yang kedua kata ini memiliki konotasi "lupa" (nasiya).Â
Bagi saya, jika seseorang sudah mengakui kesalahannya dan ingin memperbaikinya, justru harus kita hargai karena jarang sekali orang yang mau berbuat seperti itu. Karena kebanyakan, orang dengan kesombongannya selalu merasa "benar" walaupun sebenarnya dirinya "salah", lalu enggan meminta maaf.
Saya kira, alangkah lebih baik jika energi kita tidak dibuang percuma untuk hal-hal seperti "ngotot" Â memperkarakan puisi Sukmawati. Masih banyak energi positif yang seharusnya dapat diarahkan pada hal-hal yang lebih besar dan lebih baik, seperti memberikan edukasi politik kepada masyarakat, membangun kerukunan antarumat, atau meningkatkan literasi melalui media edukatif yang menyasar masyarakat kurang mampu dan belum melek pendidikan. Seluruh energi ini justru dapat lebih positif dalam mensejahterakan umat, bukan menambah persoalan yang semakin menarik suasana konflik yang berdampak negatif.
Saya kira publik akan lebih mudah menilai, dalam menanggapi gaduhnya soal puisi Sukmawati ini, mana yang mendahulukan sikap berbesar hati dengan berpedoman kepada syariat Islam dan mana yang sekadar emosi dan terus menerus memperkarakannya.Â
Sikap MUI dalam hal ini tetaplah harus dijunjung tinggi, karena MUI merupakan wadah tertinggi musyawarah umat muslim Indonesia, karena didalamnya berbaur seluruh ormas Islam yang memiliki hak suara dan pendapat. KH Ma'ruf Amin sudah menunjukkan, bahwa dirinya meminta kepada umat muslim Indonesia agar memaafkan Sukmawati, bukan terus memperkarakannya. Jadi, jika masih ada yang memperkarakan dan enggan memaafkan, lalu itu mewakili siapa? Saya kira dalam hal ini pun publik pasti mampu untuk menilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H