Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masihkah Menyoal Puisi Sukmawati?

6 April 2018   15:36 Diperbarui: 6 April 2018   15:40 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya, jika seseorang sudah mengakui kesalahannya dan ingin memperbaikinya, justru harus kita hargai karena jarang sekali orang yang mau berbuat seperti itu. Karena kebanyakan, orang dengan kesombongannya selalu merasa "benar" walaupun sebenarnya dirinya "salah", lalu enggan meminta maaf.

Saya kira, alangkah lebih baik jika energi kita tidak dibuang percuma untuk hal-hal seperti "ngotot"  memperkarakan puisi Sukmawati. Masih banyak energi positif yang seharusnya dapat diarahkan pada hal-hal yang lebih besar dan lebih baik, seperti memberikan edukasi politik kepada masyarakat, membangun kerukunan antarumat, atau meningkatkan literasi melalui media edukatif yang menyasar masyarakat kurang mampu dan belum melek pendidikan. Seluruh energi ini justru dapat lebih positif dalam mensejahterakan umat, bukan menambah persoalan yang semakin menarik suasana konflik yang berdampak negatif.

Saya kira publik akan lebih mudah menilai, dalam menanggapi gaduhnya soal puisi Sukmawati ini, mana yang mendahulukan sikap berbesar hati dengan berpedoman kepada syariat Islam dan mana yang sekadar emosi dan terus menerus memperkarakannya. 

Sikap MUI dalam hal ini tetaplah harus dijunjung tinggi, karena MUI merupakan wadah tertinggi musyawarah umat muslim Indonesia, karena didalamnya berbaur seluruh ormas Islam yang memiliki hak suara dan pendapat. KH Ma'ruf Amin sudah menunjukkan, bahwa dirinya meminta kepada umat muslim Indonesia agar memaafkan Sukmawati, bukan terus memperkarakannya. Jadi, jika masih ada yang memperkarakan dan enggan memaafkan, lalu itu mewakili siapa? Saya kira dalam hal ini pun publik pasti mampu untuk menilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun