Bagi saya, jika seseorang sudah mengakui kesalahannya dan ingin memperbaikinya, justru harus kita hargai karena jarang sekali orang yang mau berbuat seperti itu. Karena kebanyakan, orang dengan kesombongannya selalu merasa "benar" walaupun sebenarnya dirinya "salah", lalu enggan meminta maaf.
Saya kira, alangkah lebih baik jika energi kita tidak dibuang percuma untuk hal-hal seperti "ngotot" Â memperkarakan puisi Sukmawati. Masih banyak energi positif yang seharusnya dapat diarahkan pada hal-hal yang lebih besar dan lebih baik, seperti memberikan edukasi politik kepada masyarakat, membangun kerukunan antarumat, atau meningkatkan literasi melalui media edukatif yang menyasar masyarakat kurang mampu dan belum melek pendidikan. Seluruh energi ini justru dapat lebih positif dalam mensejahterakan umat, bukan menambah persoalan yang semakin menarik suasana konflik yang berdampak negatif.
Saya kira publik akan lebih mudah menilai, dalam menanggapi gaduhnya soal puisi Sukmawati ini, mana yang mendahulukan sikap berbesar hati dengan berpedoman kepada syariat Islam dan mana yang sekadar emosi dan terus menerus memperkarakannya.Â
Sikap MUI dalam hal ini tetaplah harus dijunjung tinggi, karena MUI merupakan wadah tertinggi musyawarah umat muslim Indonesia, karena didalamnya berbaur seluruh ormas Islam yang memiliki hak suara dan pendapat. KH Ma'ruf Amin sudah menunjukkan, bahwa dirinya meminta kepada umat muslim Indonesia agar memaafkan Sukmawati, bukan terus memperkarakannya. Jadi, jika masih ada yang memperkarakan dan enggan memaafkan, lalu itu mewakili siapa? Saya kira dalam hal ini pun publik pasti mampu untuk menilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H