Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Elit Politik, "Politik Elit", dan Ulama

2 April 2018   16:06 Diperbarui: 2 April 2018   23:59 4082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: nasional.kompas.com

Hingar-bingarnya panggung politik jelang pesta demokrasi 2019 sudah sejak jauh-jauh hari telah dimulai. Tidak saja menghadirkan wajah-wajah baru yang mulai menapaki panggung, namun para elit politik mulai turun gunung, menjajakan "dagangan" politiknya. Istilah "elit politik" tentu saja berkonotasi pada tokoh atau figur pemimpin suatu partai politik yang umumnya selalu saja menjadi perhatian publik. 

Jadi, jika kemudian ada yang menyatakan dirinya sebagai elit politik yang sudah bertobat, paling tidak dirinya sudah tak lagi tertarik dengan dunia politik kekuasaan. Inilah barangkali sinyal yang dimaksudkan Prabowo Subianto ketika berpidato dalam acara kampanye calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat, Sudradjat-Ahmad Syaikhu di Depok, Minggu (1/4/2018).

Dalam laman kompas.com, Prabowo secara tegas menyebutkan bahwa dirinya adalah elite yang bertobat, itu artinya kemungkinan besar dirinya kapok menjadi elite dan bisa saja tak akan melibatkan diri dalam bursa calon presiden, lebih memilih menjadi "king maker" mempersilahkan kader-kader potensial untuk mengikuti ajang kontestasi politik tahun depan.

Tidak menutup kemungkinan, beberapa nama yang saat ini sedang digodok oleh parpol pendukung Prabowo akan dideklarasikan pada beberapa hari kedepan. Bahkan, dalam pidato Prabowo di Depok, tanpa segan-segan dia menuding dimana sejauh ini banyak elit yang bodoh dan bermental maling sehingga mendorong Ketua Umum Gerindra ini segera "pensiun" sebagai elit politik.

Semakin dekatnya ajang pesta demokrasi, semakin nampak ucapan-ucapan elit politik yang semakin terbawa nuansa "perebutan" kekuasaan. Tepat beberapa hari yang lalu, salah satu ucapan elit politik yang menuding dengan kasar keberadaan Kementrian Agama bertanggungjawab dibalik maraknya kasus penipuan umrah, kini terucap kalimat yang sulit untuk tidak dikatakan beretika. 

Panggung politik yang sedemikian memanas, kontras sekali dengan kurang kontrolnya para elit politik dalam mengelola komunikasi. Atau mungkin inilah strategi politik elit dalam hal mencari pengaruh dan mendapatkan peran secara lebih signifikan di panggung politik: membangun perspektif negatif bagi lawan politik dengan cara menuding, memfitnah, atau mencaci, demi tujuan-tujuan kekuasaan.

Uniknya, mereka yang dianggap sebagai figur netral dalam konteks politik-kekuasaan, seperti ulama atau tokoh agama juga ikut-ikutan masuk dalam pusaran "konflik" elit politik. Saya kira, pernyataan Ketua Umum MUI, KH Ma'ruf Amin yang mengomentari pidato Ketua Umum Gerindra soal tudingannya bahwa banyak para elit yang bodoh dan bermental maling agar segera saja ditunjuk langsung siapa yang dimaksud, mendorong suasana konflik para elit politik semakin melebar. 

Padahal, ungkapan salah satu wakil rakyat yang menuding pihak kementrian agama dengan kata-kata kasar, apalagi terkait penipuan berkedok ibadah, tak pernah dikomentari sama sekali. Hal ini, saya kira, akan menimbulkan pretensi buruk dalam benak publik yang pada akhirnya cenderung menilai MUI telah masuk dalam pusaran konflik para elit politik.

Ulama, saya kira juga merupakan elit karena strata sosialnya yang cenderung dianggap istimewa oleh publik. Saya justru khawatir, ketika salah satu petinggi MUI sudah berpolitik, maka sulit rasanya untuk menempatkan para ulama sebagai pembimbing umat yang netral pada akhirnya. Ketika para elit sudah ikut terlibat dalam suasana konflik, maka masyarakat non elitis pasti akan terkena imbasnya: berkonflik dan saling mencurigai satu sama lain. 

Reaksi pihak MUI terhadap pidato Prabowo ini saya kira akan digoreng lagi menjadi isu-isu politik yang menyudutkan MUI menjadi lembaga negara yang tak lagi "netral" dalam hal politik.

Saya teringat akan salah satu ucapan Nabi Muhammad yang begitu terkenal, "Jika tak bisa berbicara baik, maka diamlah!" (falyaqul khairan aw liyashmut). Nabi tidak menyuruh untuk berkata "benar" tetapi berkata "baik", dimana kebaikan tentu saja bersifat universal yang berdampak pada suasana damai bukan memancing keadaan konflik. 

Belakangan, para elit politik justru seringkali mengumbar pernyataan yang diyakininya sebagai "kebenaran" padahal sama sekali tak ada unsur "kebaikan" didalamnya. Itulah kenapa ada adagium yang sering kita dengar bahwa "kebenaran itu relatif" karena mungkin saja masuk unsur subjektifitas seseorang didalamnya, berbeda dengan "kebaikan" yang tentu saja dapat diterima secara umum dan bersifat universal.

Bagi saya, setiap kebaikan yang diucapkan dalam rangkaian kalimat-kalimat atau dilakukan dalam rangkaian sikap dan prilaku, ibarat pohon yang meneduhkan dengan ranting, cabang, dan daunnya yang sedemikian lebat "menjaga" dan "melindungi" setiap kebaikan yang dihasilkan oleh pohon tersebut. 

Akan lain halnya dengan kalimat-kalimat yang tak ada kebaikan sama sekali didalamnya yang diibaratkan pohon layu dan kering, bahkan akarnya-pun telah rapuh dan hanya menarik untuk diolah menjadi kayu bakar. Saya kira, "tahun politik" ini, semakin sering ditandai oleh sikap aksi dan reaksi yang ditimbulkan para elit, sehingga publik pun pada akhirnya dapat menilai mana yang membawa dampak kebaikan dan mana yang justru mempertajam konflik sehingga timbul keburukan dan kegaduhan.

Politik para elit di palagan kekuasaan semakin tampak banyak bicara dan sedikit bekerja. Anehnya, kitapun nampak menikmati ujaran para elit dibanding apa yang sudah mereka kerjakan selama ini. 

Tak akan pernah ada istilah "istirahatlah kata-kata" seperti yang digaungkan Widji Tukul dalam sekumpulan puisinya, karena bagi elit, banyak bicara adalah "ukuran" cara mereka bekerja, aneh bukan? Pun para ulama sebagai "elit sosial" ikut-ikutan reaktif melakukan "pembelaan politik" dalam ruang-ruang komunikasi publik. Sedikit sekali diantara elit kita yang "diam" mengistirahatkan kata-kata mereka dan tetap fokus untuk bekerja demi kepentingan non elitis yang justru lebih besar.

Saya kira, politik kekuasaan bukanlah "seni berorasi" sekadar mencari pembenaran bagi kelompoknya sendiri, namun lebih mulia dari itu, bagaimana politik dapat menyatukan beragam kepentingan dalam satu kotak kepentingan nasional yang lebih besar. Sangat berbahaya, jika politik hanya sebatas dipahami pada praktik menang-kalah dalam hal kekuasaan yang pada akhirnya jatuh pada persoalan retorika yang buruk demi untuk pemenuhan keuntungan sesaat. 

Jika memang sekadar mengejar kekuasaan, memang alangkah lebih baik para elit pensiun dan kembali ke masyarakat, berbaur dan mencoba memahami apa sesungguhnya keinginan mereka. 

Para elit seperti kehilangan kendali bahkan memutus mata rantai komunikasi "kebawah" karena mereka lebih senang berkomunikasi "keatas". Itulah sebabnya, semakin banyak orang yang tergiur menjadi elit dan ogah kembali pensiun menjadi rakyat, karena cara pandang terhadap kekuasaan yang terlampau menggiurkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun