Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Raden Saleh Enggan Diberi Gelar "Habib" atau "Sayid"

15 Februari 2018   12:36 Diperbarui: 15 Februari 2018   14:51 3814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya justru terheran-heran dengan kepribadian Raden Saleh yang meskipun keturunan Arab, tetapi justru enggan menggunakan simbol-simbol yang berasa dari budaya asal dirinya. Padahal, kakaknya yang laki-laki menurut Berg, masih menyematkan gelar "Sayid" pun dengan dua adiknya yang perempuan, tetap menyematkan nama "Syarifah" dibelakang namanya. 

Hanya Raden Saleh yang enggan memakai gelar nama Arab, meskipun kakeknya sendiri adalah Sayid Awadh bin Yahya, salah seorang keturunan Hadramaut yang datang ke Indonesia pada akhir abad 18. Raden Saleh tetaplah seolah-olah seperti dan berperilaku layaknya orang Jawa dan hampir-hampir nuansa Arab tercerabut dari jati dirinya sendiri. Entah apakah karena dirinya adalah seorang seniman, di mana umumnya seniman akan lebih menghargai tradisi dan budaya yang membesarkannya ketimbang tetek-bengek asal muasal dan keturunannya.

Terlepas dari soal kenapa Raden Saleh sampai akhir hayatnya tetap dipanggil "raden" meskipun dirinya merupakan keturunan Arab, namun yang jelas, inilah salah satu seniman termasyhur pada zamannya, bahkan seniman abadi sepanjang zaman. Bagaimana tidak, karya-karya guratan ciamik dan berkelas yang berasal dari tangannya, mampu menggedor blantika seni lukis klasik dunia. 

Baru-baru ini, lukisannya yang berjudul, "Banteng-Hunt" justru laku seharga 7,2 juta euro atau setara sekitar Rp 119,9 miliar, harga yang sangat fantastis bagi sebuah karya seni anak bangsa. Arab ternyata tidak selalu identik dengan penyebar agama Islam atau para pedagang, tidak juga identik dengan keulamaannya yang mahir membahasakan ilmu-ilmu agama. Raden Saleh memberikan bukti, bahwa Arab tak melulu agama atau politik-kekuasaan, namun jauh lebih halus dan bernilai substantif, yaitu seni yang sejauh ini seringkali ditabukan oleh keturunannya sendiri.

Salah seorang peneliti Indonesia asal Belanda Karel A Steenbrink bahkan membuat judul khusus tentang Raden Saleh dalam hasil penelitiannya yang dihubungkan dengan asal muasal orang Arab yang hadir dan berasimiliasi dengan citra dan kebudayaan Nusantara. Dirinya menggambarkan bahwa Raden Saleh sepertinya seolah-olah mengidentikkan dirinya dengan orang Jawa dan bertingkah laku seperti orang Indonesia pada umumnya, tanpa melabeli dirinya dengan gelar yang bernuansa kearaban. 

Kita tentu bangga memiliki seorang Raden Saleh yang sedemikian dikenal di dunia karena karya-karya seninya yang sangat berkelas. Hal ini pula yang kemudian membuat salah seorang sutradara film dokumeter asal Perancis, Raphael Millet yang saat ini sedang menggarap film tentang Raden Saleh. 

Bangsa kita ini selalu kalah langkah dengan bangsa lain, disaat mereka terkagum-kagum dan terbuai oleh karya kegendaris anak bangsa bahkan akan membuatkan filmnya, bangsa ini tentu saja belum tahu apa-apa soal kehidupan Raden Saleh, hanya beberapa literatur sejarah lama, itu juga hasil dari karya orang asing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun