Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Raden Saleh Enggan Diberi Gelar "Habib" atau "Sayid"

15 Februari 2018   12:36 Diperbarui: 15 Februari 2018   14:51 3814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal Raden Saleh? Pria Indonesia keturunan Arab yang dikenal sebagai seniman yang mendunia, bahkan hampir-hampir banyak orang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah hasil "peranakan" Hadramaut bukan orang Jawa asli yang sejauh ini dicitrakan publik. 

Ya, Raden Saleh lebih acceptable dengan menyandang gelar "raden" dibelakangnya sebagai ciri khas kalangan bangsawan Jawa, ketimbang gelar "sayid" atau "habib" yang sejauh ini dibanggakan sebagian orang yang memiliki garis keturunan Arab bahkan tak jarang mengklaim sebagai titisan darah biru langsung dari Nabi Muhammad. Banyak yang tidak diketahui perihal sejarah Raden Saleh ini, hanya beberapa catatan sejarah yang berasal dari ilmuwan Belanda yang meneliti Indonesia.

Menarik melihat sejarah orang Arab di Indonesia yang oleh beberapa sejarawan Belanda disebut sebagai kalangan non-pribumi (kaum peranakan), untuk membedakan dengan kalangan pribumi yang oleh pemerintah kolonial sengaja diatur sedemikian rupa untuk "melindungi" kaum pribumi, terutama pedagang. Walaupun pada kenyataannya, Belanda tampaknya lebih mengkhawatirkan kaum "peranakan" karena alasan politis: khawatir mereka mengadakan pemberontakan kepada pemerintah kolonial. 

Adalah L.W.C Van den Berg yang berhasil memotret secara baik soal sejarah orang Arab di Indonesia, yang karya tulisnya mulai diterbitkan dalam bahasa Perancis pada 1886. Berg meyakini bahwa hampir semua orang Arab yang ada di Indonesia berasal dari Hadramaut, Yaman. Hanya sebagian kecil saja pedagang-pedagang Arab yang berasal dari Mekkah kemudian berasimilasi dengan penduduk lokal dan menetap kemudian di Indonesia.

Para ulama dan tokoh agama yang kemudian dikenal di Indonesia yang keturunan Arab, juga hampir seluruhnya berasal dari wilayah subur Yaman, yakni Hadramaut. Salah satu ulama terkenal keturunan Arab asal Hadramaut adalah Salim bin Abdullah bin Sumair yang mengarang kitab fiqih "Safinatun Naja" (Perahu Keselamatan). 

Kitab fiqih ini memberikan penjelasan dasar-dasar hukum Islam secara ringkas, padat, dan mudah dipahami, sehingga kemudian menjadi kitab wajib dipelajari para santri di hampir seluruh pesantren tradisional di Indonesia. Syekh Salim---demikian orang-orang Batavia menyebutnya---kemudian meninggal pada tahun 1854 dan dikuburkan di daerah Tanah Abang. 

Ulama lainnya yang sangat terkenal adalah Sayid Usman bin Aqil bin Yahya al-Alawi, salah seorang mufti Batavia yang diangkat oleh pemerintah kolonial. Antara Sayid Usman dan Syekh Salim, seringkali terjadi pertentangan, mungkin karena ketidaksetujuan Salim yang menganggap Sayid Usman terlampau pro terhadap pemerintahan kolonial.

Pada masa Raden Saleh (1811-1880), terjadi nuansa asimilasi yang sedemikian cepat orang-orang Arab yang tinggal di Indonesia. Mereka sudah tidak lagi mempergunakan bahasa Arab---sebagai bahasa ibu---tetapi lebih sering berbahasa Indonesia walaupun dengan sesama warga keturunan. Van den Berg bahkan melaporkan, bahwa bahasa Arab justru hampir hilang, bahkan berpakaian cara Arab-pun sudah dihilangkan karena dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia. 

Itulah kenapa, Raden Saleh tampil layaknya bangsawan Jawa, mengenakan blangkon dan beskap, walaupun terkadang dipadukan dengan gaya modern berbusana, karena terkadang dirinya tak memakai kain jarit tetapi celana panjang. Raden Saleh nampaknya tetap nyaman dengan atribut kenusantaraan, meskipun sempat beberapa tahun mengenyam pendidikan di Eropa.

Barangkali, kontras dengan nuansa kekinian, di mana justru mereka yang dianggap keturunan Arab justru cenderung mengembalikan tradisi dan budaya Arab di Indonesia. Bahasa-pun nampaknya demikian, di mana terdapat kecenderungan untuk mengganti bahasa Indonesia menggunakan bahasa Arab, seperti diubahnya panggilan "saya" menjadi "ana" atau "kamu" menjadi "antum". 

Yang terjadi belakangan bahkan disamiliasi, dimana budaya dan tradisi Indonesia---termasuk bahasa dan berbusana---mulai memisahkan dan dikembalikan kepada budaya aslinya, yaitu budaya Arab. Sulit untuk tidak mengatakan, fenomena kearab-araban saat ini semakin marak, baik melalui simbol-simbol yang melekat dalam pribadi seseorang---walaupun bukan keturunan Arab---dengan simbol-simbol dominan budaya Arab. Gamis, turban, jubah, celana cingkrang, barangkali adalah sekian dari contoh nyata proses disamiliasi budaya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun