Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Kegilaan, yang Waras Jangan "Ngalah"

13 Februari 2018   15:57 Diperbarui: 13 Februari 2018   17:31 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu orang gila yang menjadi pesakitan dalam melakukan serentetan aksi kekerasan kepada para pemuka agama karena "kegilaannya", perlu rasanya diteliti ulang. Pasalnya, kegilaan tidak identik dengan kondisi fisik yang selaras dengan kondisi hilang ingatan, tetapi kegilaan---sebagaimana disebut KBBI---merupakan "sifat (perihal,keadaan) gila; sesuatu yang melampaui batas".

Kondisi semacam ini tentu saja dapat menimpa siapa saja, karena sifat gila bisa muncul karena dorongan sikap yang berlebihan dan melampaui batas, termasuk kegilaan dalam hal beragama. Bukankah yang disasar adalah para tokoh agama? Ustadz, kiai, pendeta, biksu, dan pemuka agama lainnya diintimidasi, diserang, bahkan ada yang sampai meregang nyawa. Jika yang disasar adalah agama dan tokoh agama, bisa saja seseorang yang melakukannya memang dalam kondisi kegilaan dalam hal agama.

Bagi yang berpikiran waras, tak mungkin rasanya mengintimidasi, meneror, terlebih menyakiti dan bahkan membunuh, terlepas dari keterkaitan dengan agama maupun tidak. Namun, jika akal sehat sudah tertutup karena kegilaan, jelas ini merupakan tanda pikiran yang tak waras, yang mungkin saja dapat dengan mudah diarahkan, diperintah, atau didorong untuk menyakiti pihak lain.

Jika sudah soal ketidakwarasan dalam beragama, maka yang terjadi menganggap orang lain yang tampak agamis dan kuat keyakinan agamanya, dianggap musuh yang membahayakan dirinya dan layak untuk dihancurkan. Fenomena penyerangan tokoh-tokoh agama, jelas didorong atas kegilaan seseorang terhadap perihal keberagamaannya, baik itu dari sisi pikiran, perbuatan, dan mungkin saja "perintah" yang berasal dari luar dirinya sendiri.

Kegilaan dalam beragama yang ditunjukkan oleh sikapnya yang "melampaui batas" kemanusiaan, jelas merusak dan mengacaukan sendi-sendi solidaritas sosial. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri pernah memberikan peringatan keras, agar umatnya tak menjadi bagian dari "kegilaan atas nama agama" yang disebutnya dengan istilah "ghuluw" atau "maghaalaat".

"Wahai manusia, berhati-hatilah akan sikapmu yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama, karena kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah karena mereka terlampau berlebihan dalam hal agama" (HR Ibnu Majah).

Jika sikap "melampaui batas" jelas merusak, maka sikap keberagamaan yang terlampau berlebihan sama halnya dengan "kegilaan" yang dilarang oleh agama.

Bukan suatu kebetulan, bahwa istilah "ghuluw" dalam terminologi agama Islam mengacu pada sesuatu hal yang "berlebihan" atau "melampaui batas", bahkan berkonotasi luas, baik dalam soal cara berpikir, bertindak, dan melakukan hal apapun yang dianggap bertentangan dengan dirinya. Sikap "ghuluw" tentu saja tak berpijak pada akal sehat, tetapi lebih didorong oleh fanatisme (ta'ashub) dengan cara pandang yang cenderung ekstrim.

Istilah "ghuluw" bahkan mengandung makna "mubalaghah" (penguatan) atas sikap ektrim, baik dalam cara berpikir maupun bertindak. Itulah kenapa, diksi "ghuluw" mengacu pada suatu "kegilaan" yang ketika dikaitkan dengan agama, maka yang terjadi nuansa kebencian dan permusuhan kepada agama dan para pemuka agamanya.

Bagi siapapun yang merasa waras, tentu saja tak boleh mengalah terhadap kondisi kegilaan yang mengatasnamakan agama ini. Bukan saja hal ini merusak citra agama, tetapi justru melahirkan pertentangan yang lebih besar dan dampak buruk bagi realitas kehidupan sosial-keagamaan.

Bagaimana tidak, jika mereka para penyerang tokoh agama masih diidentikkan dengan kondisi kegilaan yang bersifat fisik, lalu terbebas dari jeratan hukum, sungguh akan menjadi preseden buruk bagi penegakkan hukum kedepannya. Perlu diteliti dan dikaji lebih jauh, jangan-jangan mereka yang mengaku "gila" memang dalam kondisi kegilaan terhadap agama, sehingga sasaran yang dituju tentu saja para tokoh agama yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun