Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selametan dan Tahlilan bagian Tradisi Islam

7 Februari 2018   09:17 Diperbarui: 8 Februari 2018   08:14 1920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Warta Kota/Andika Panduwinata)

Orang-orang yang "selametan" atau tahlilan yang memberikan makan kepada orang lain, tentu saja ikhlas hanya mengharapkan keridhaan Allah dan sama sekali tak pernah berharap balasan terima kasih. 

Bagi mereka doa dan berkumpulnya orang-orang  yang hadir dalam setiap acara itu sudahlah cukup membuat hati mereka senang, karena bagaimanapun segala makanan---termasuk besek yang kemudian dibagikan---sudah semestinya tak bersisa. Jika masih ada yang tersisa sama dengan mubazir yang justru lebih berdosa karena sama saja dengan mengikuti perbuatan setan. 

Mubazir tentu saja suatu kebiasaan buruk yang akan merugikan diri sendiri dan tak memberikan manfaat sedikitpun bagi kehidupan manusia, kecuali kesia-siaan.

Kelima, perihal hitungan hari-hari tertentu dalam tahlilan, seperti hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dan ke seratus, yang dianggap sebagai bagian dari tradisi atau kepercayaan agama lain yang bukan sama sekali berasal dari tradisi Islam. Jika yang dipersoalkan hitungan hari-harinya, maka perhatikanlah bahwa ayat-ayat Al-Quran banyak yang mengungkapkan perhitungan, entah soal berapa lama alam semesta diciptakan, jumlah hitungan bulan, jumlah lapisan langit dan bumi dan masih banyak perhitungan angka lainnya. 

Angka tentu saja memiliki "kekhususan" yang hanya diketahui rahasianya oleh mereka yang berakal dan mau mengungkapnya. Terlebih soal hitungan hari dalam tradisi tahlilan, tentu memiliki makna substantif, dimana ruh setelah terpisah dari badan terdapat beberapa hitungan hari sampai ruh tersebut menetap dalam alamnya sendiri.

Rasulullah bahkan pernah menceritakan, bahwa ketika ruh itu keluar dari badan seseorang dan melewati tiga hari,ruh itu berkata, "Ya Tuhanku, izinkan aku pergi melihat jasadku di tempatnya berada". Maka Tuhan mengizinkannya dan memandang jasadnya dari tempat yang jauh. Setelah melewati lima hari,ruh meminta kembali kepada Tuhannya agar diberikan kesempatan untuk kembali melihat jasadnya dan Tuhan-pun mengizinkannya. Setelah melewati tujuh hari, lalu ruh meminta kembali hal yang sama agar Tuhan mengizinkan melihat jasadnya. 

Abu Hurairah juga pernah bercerita, bahwa setiap ruh orang beriman setelah kematiannya akan berputar di sekitar rumahnya selama satu bulan, dia melihat harta bendanya yang ditinggalkan, bagaimana pembagian warisan dan pembayaran hutang-hutangnya. Setelah genap satu bulan, ruh kembali ke kuburnya, berputar-putar selama satu tahun dan menyaksikan bagaimana orang-orang mendoakannya dan mereka bersusah hati atas kepergiannya. Lalu, setelah satu tahun, ruh akan ditempatkan Allah bersama ruh-ruh yang lainnya hingga hari kiamat (Imam Abdurrahim bin Ahmad Al-Qadli: Daqaiq al-Akhbar fi dzikri al-jannati wan naar).

Lagi pula, kumpul-kumpul dengan berdzikir, membaca al-Quran atau ngobrolin agama adalah prasyarat turunnya rahmat dan ijabahnya doa para malaikat. "Tidak ada suatu kelompok berkumpul di rumah atau di rumah-rumah Tuhan, mereka membaca Al-Quran dan saling mempelajarinya, kecuali diturunkan kepada hati-hati mereka ketentraman (sakinah), ditaburkan kasih sayang (rahmat), didoakan para malaikat, dan Allah senantiasa akan mengingat mereka" (HR Muslim).

Bukankah tahlilan dan "selametan" dalam momen apapun adalah membacakan Al-Quran? Masih tidak percaya jika itu tradisi yang berasal dari zaman Nabi? Anda semestinya belajar lebih banyak lagi dalam hal menghormati dan meneladani tradisi-tradisi yang jelas telah dijalankan pada masa Nabi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun