Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selametan dan Tahlilan bagian Tradisi Islam

7 Februari 2018   09:17 Diperbarui: 8 Februari 2018   08:14 1920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Warta Kota/Andika Panduwinata)

Pernah seseorang menanyakan soal apa dasarnya umat Islam masih melakukan kegiatan "selametan" dan tahlilan jika ada diantara kerabatnya yang meninggal atau kumpul-kumpul di acara syukuran. Pertanyaan ini tentu saja sangat "klasik" dan mungkin lebih klasik dari mobil Mini Morris yang legendaris sejak Mr Bean sukses memperkenalkan lewat berbagai tayangan komoedinya. 

Pertanyaan menyoal tradisi ini sepertinya telah menjadi pertanyaan abadi, yang jikapun ada jawabannya, belum tentu "mereka" mau menerimanya. Padahal, jika saling menghargai dan menghormati dengan tidak saling menghina atau menyakiti, tentu itu lebih baik, bahkan mungkin lebih memiliki nilai ibadah di mata sang Maha Pencipta.

Pertama, soal klasik itu adalah bahwa anggapan dimana "selametan" dan tahlilan yang dijalankan sebagian umat muslim adalah merupakan kebiasaan yang melegenda dalam tradisi dan budaya Hindu-Budha dan bukan berasal dari tradisi Islam. Padahal, Islam sebagai agama, tentu saja tak pernah berdiri sendiri karena terkait dengan tradisi dan budaya agama sebelumnya yang hadir lebih dahulu jauh sebelum Islam itu sendiri ada. Maka Islam "menyempurnakan" agama-agama terdahulu, bukan menghapus, merusak, apalagi menghilangkannya. 

Budaya dan tradisi yang baik tetap menjadi bagian dalam tradisi Islam, termasuk shalat, puasa, haji dan beragam ritual lainnya. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam momentum "Haji Perpisahan" ketika dirinya berkhutbah dengan membacakan ayat Al-Quran, "pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku" (QS. Al-Maidah:3)

Kedua, tradisi "selametan" tentu saja tidak ngasal, karena kata "selamat" dan "keselamatan" dengan beragam perluasannya---termasuk mengucapkan selamat---terambil dari makna "Islam" sendiri, yaitu "selamat", "damai" dan "keselamatan". Teologi keselamatan (salvation) melekat dalam semua agama---termasuk Islam---dengan sebuah cara pandang universal setiap penganutnya bahwa dengan beragama, tentu saja akan "selamat" dan dalam tahap tertentu, beragama berarti memberikan "keselamatan" baik bagi dirinya dan orang lain. 

Maka, Islam sendiri memiliki konotasi "selametan" karena dengan mempraktikannya, bukan saja kita diharapkan bisa "selamet" tetapi orang lain juga ikut "terselamatkan" pada akhirnya. Islam dan selamat, berarti dua kata yang yang memiliki konotasi sama, bukan dua entitas yang berbeda atau bertentangan. 

Ketiga, filosofi "selametan" yang terwakili melalui praktik tradisi yang memberi makan kepada orang dengan tujuan sedekah, mengumpulkan orang lain, berdoa dengan segala macam ritual lainnya justru dilakukan agar orang yang mengadakan selametan tidak akan menyesal setelah dirinya nanti mati. Hal ini jelas tergambar dalam Al-Quran, bagaimana seseorang menyesali kenapa sewaktu hidupnya tidak "selametan" bersedekah dan memberi makan kepada orang lain. 

"Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (QS. Al-Munafiqun: 10).

Menarik bukan filosofinya? Sebelum menyesal maka biasakan "selametan", bersedekah dan kumpul-kumpul berdoa, sebelum ajal tiba.

Keempat, bahwa soal menyebarkan salam, membiasakan aktivitas yang mengajak kepada "keselamatan" yang kemudian diiringi dengan "makan-makan" atau sedekah, jelas merupakan salah satu wasiat Nabi Muhammad. Bukankah ketika pertama kali Nabi sampai di Madinah ketika hijrah, pernah menyatakan, "tebarkanlah salam atau keselamatan (afsyu as-salaam)" yang kemudian langsung diiringi oleh kalimat "dan berikanlah atau adakanlah sedekah dan makan-makan (ath'imu ath-tho'am)". Merekalah yang oleh Nabi dijamin masuk surga dengan selamat (wa tadkhulu al-jannata bis salaam). 

Bahkan, soal "makan-makan" ini jelas disebut dalam Al-Quran, "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih" (QS. Al-Insan: 8-9).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun