Rangkaian gerakan keagamaan yang menjadi ciri dan realitas dalam masyarakat politik, tentu saja telah menjadi ekspresi keagamaan yang sadar maupun tidak, gandrung akan simbolisasi: pendakwah  "media" yang populer, bendera-bendera keagamaan yang marak, fanatisme kegamaan secara berlebih, atau ikut terlibat dalam gerakan politik yang disimbolisasi agama.
Entah kenapa, keberadaan pesantren tiba-tiba "meredup" dan hampir tak pernah diekspose oleh banyak media sehingga yang terjadi justru maraknya simbolisasi keagamaan yang berhasil merebut simpati masyarakat perkotaan. Apakah karena pesantren lebih didominasi oleh kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) yang belakangan justru dilanda fitnah politik yang luar biasa?.
Bisa jadi benar, karena sejauh ini ormas NU dipersepsikan oleh kalangan "gerakan politisasi agama" sebagai dinding penghalang yang semakin sulit menggerakkan aktivitas mereka. Yang paling mengejutkan adalah sekian banyak berita bohong (hoax) yang membanjiri informasi dan seringkali dianggap sebuah "kebenaran", tetapi justru diamini oleh pihak-pihak terpelajar sekalipun. Dalam banyak hal, penyebaran hoax, saya kira, juga merupakan upaya mendiskreditkan pesantren dan ulama-ulama "bersih" lainnya yang seringkali dianggap batu sandungan oleh kalangan Islam-politik.
Menguatnya berbagai gerakan keagamaan yang gandrung terhadap simbol-simbol, telah banyak merubah persepsi keagamaan masyarakat, bahkan pada tahap tertentu berupaya memberangus ingatan mereka akan pesantren dan para ulama pendirinya. Padahal, saya meyakini, pesantren merupakan benteng terakhir pertahanan NKRI yang sejauh ini terbukti dalam banyak hal, mempersatukan dan memperkuat kembali nilai-nilai agama dalam bingkai kebangsaan.Â
Masa depan Islam Indonesia ada dalam simpul kekuatan pesantren yang selama ini menjadi kultur NU. Hancurnya pesantren, hanya akan berakibat bagi Islam di Indonesia menjadi sektarian, cenderung berkonflik dan hanya menunggu kehancurannya seperti hancur leburnya negeri-negeri di Timur Tengah, yang justru berkonflik atas nama agama yang ditunjukkan oleh perebutan kekuasaan politik.
Sulit bagi saya melupakan, bagaimana pesantren-pesantren tanpa koordinasi, mengirimkan para santri yang dipimpin para kiai-nya ikut bergabung mempertahankan NKRI dalam sebuah serangan Agresi Militer Belanda di Surabaya. Apakah mereka dipersenjatai? Tidak, karena mereka bermodalkan semangat keagamaan yang menggebu, mempertahankan negara ini dari penjajahan.Â
Sejarah kemudian menyebut, mereka hanya bersenjatakan bambu runcing yang sulit diterima akal sehat, bagaimana mereka bisa membuat para penjajah kocar-kacir. Apakah karena strategi perang mereka? Tidak juga saya kira, bagaimana mereka tahu strategi, sedangkan mereka hanya bergelut dengan kitab kuning, khidmat pada guru-guru mereka dan keinginan mereka membela tanah air. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H