Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesantren, Simbolisasi Agama dan Masa Depan Islam Indonesia

4 Desember 2017   11:35 Diperbarui: 4 Desember 2017   11:40 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keberadaan Islam Indonesia belakangan mengalami banyak sekali pergeseran, terutama soal berbagai gerakan (politik), cara pandang atau sikap keagamaan, popularitas para pendakwah, hingga berimbas pada menguatnya "simbolisasi agama" yang muncul di wilayah urban. Berbagai lembaga survey merilis beragam penelitian soal keagamaan Islam dan tentu saja menjadi fakta tak terbanhtahkan soal nuansa perubahan-perubahan tersebut. 

Lalu, apakah perubahan yang ditunjukkan oleh bentuk pergeseran masyarakat muslim Indonesia ini dipandah sebagai sebuah keberhasilan yang dipandang positif? Saya kira tidak, karena justru pergeseran-pergeseran ini menambah besar akan makna keagamaan yang hanya dilakukan demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan seseorang akan simbol, bukan pada semangat keagamaan itu sendiri.

Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementrian Agama RI misalnya, pernah membeberkan hasil penelitian terkait peranan media massa dan media sosial dalam pembelajaran agama dan keagamaan Islam, dimana tokoh-tokoh pupuler yang dianggap sebagai "ahli agama"  adalah mereka yang seringkali muncul sosoknya di media. Nama-nama dai populer seperti Aa Gym, Mamah Dedeh, atau Arifin Ilham, berhasil menempati hati masyarakat sebagai "ulama" populer yang kian digandrungi dan diikuti. 

Padahal, ulama-ulama pesantren yang jauh lebih mumpuni soal ilmu keagamaannya, jarang sekali diketahui publik, hanya karena mereka enggan diekspose atau dipublikasikan oleh media. Mengenal kepopuleran tokoh agama yang seringkali muncul di layar televisi, tentu saja bukan ukuran semakin baiknya sikap dan pemahaman keagamaan seseorang, tetapi justru sebaliknya, penguatan atas "simbolisasi agama" yang ditunjukkan oleh sikap dan cara pandang mereka yang terkooptasi oleh media.

Simbolisasi keagamaan semakin menguat, seiring dengan maraknya aktivitas keagamaan yang ditunjukkan oleh beragam gerakan atau kegiatan, yang mampu menyihir banyak orang. Pernahkah berpikir, ketika sebuah aktivitas bernama "gerakan subuh berjamaah" menyebut bahwa tempat peribadatan sepi ketika shalat subuh dan mereka menginisiasi gerakan tersebut? 

Bukankah jumlah pesantren di Indonesia yang berjumlah 28.961 dengan jumlah santri mencapai lebih dari 4 juta orang, setiap hari melakukan shalat subuh berjamaah, bahkan tanpa digerakkan? Kenapa media hanya mengekspose gerakan-gerakan "simbolik" yang menjadi ciri masyarakat urban, dibanding memperlihatkan betapa ratusan ribu pesantren sudah sejak dulu melakukan shalat berjamaah? Saya sangat apresiasi atas pendapat Nurcholis Madjid yang menyatakan pesantren merupakan indigenous yang tidak saja identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia.

Beragam penelitian yang dilakukan dengan mengukur beragam tingkat keagamaan dalam masyarakat serta cara pandang mereka, lebih banyak menyisir wilayah-wilayah urban atau perkotaan, belum secara signifikan menggambarkan sesuatu yang benar-benar "mewakili" sikap keberagamaan masyarakat Indonesia, terlebih karena pesantren nampaknya luput dari beragam penilitian tersebut. 

Sebagai bagian dari pesantren, saya lebih mengenal para ulama pesantren yang cenderung luput dari ulasan media dan saya meyakini, merekalah para ulama pesantren yang sejauh ini pasang badan, terhadap upaya perongrongan dunia pesantren melalui beragam kooptasi "gerakan politik-keagamaan" yang mulai disebar dan sukses mempengaruhi cara berpikir keagamaan mereka yang hidup di wilayah perkotaan. Tidak menutup kemungkinan, mereka-mereka yang berada dalam sebuah "gerakan keagamaan" ini, dengan sadar hendak merebut kendali pesantren yang sejauh ini menjadi indigenous dalam perkembangan Islam di Indonesia.

Kondisi ini, saya kira mirip dengan kenyataan disaat maraknya upaya "modernisasi" Islam di awal-awal abad 19 yang pernah merambah Indonesia. Berbagai klaim atas gerakan keagamaan, kemudian mewujud menjadi partai-partai politik yang pada akhirnya berebut kekuasaan, bukan mengisi atau mewarnai kemerdekaan melalui penguatan atas penghayatan makna keagamaan. 

Agama dimanfaatkan sebagai simbol untuk menggerus simpul-simpul keagamaan masyarakat yang tadinya menguat yang bercirikan toleransi, moderat dan tentu saja inklusiv, kemudian terpecah-pecah berserakan menjadi semacam "simbol-simbol keagamaan" yang bernuansa politik, ekslusif, intoleran dan bahkan berwajah "perlawanan". Menarik garis batas nuansa keagamaan masa lalu yang disinkronisasikan di masa kini, saya kira dalam beberapa hal, memiliki benyak kesamaan.

Indonesia, saya kira, menjadi sasaran empuk bagi penguatan simbolisasi, ditengah maraknya isu-isu keagamaan yang dihembuskan oleh sebuah "kekuatan politik" dengan terlebih dahulu mendobrak kekuatan legitimasi para penguasa. Celah ini berhasil ditembus dan dimanfaatkan mereka sehingga simbolisasi agama semakin marak dan menguat di tengah masyarakat yang pada tahap berikutnya menggeser cara pandang dan sikap keberagamaan mereka yang memperteguh "simbol-simbol" dengan kering akan makna dan isi atas nilai-nilai positif yang diusung dalam jiwa agama tersebut. 

Rangkaian gerakan keagamaan yang menjadi ciri dan realitas dalam masyarakat politik, tentu saja telah menjadi ekspresi keagamaan yang sadar maupun tidak, gandrung akan simbolisasi: pendakwah  "media" yang populer, bendera-bendera keagamaan yang marak, fanatisme kegamaan secara berlebih, atau ikut terlibat dalam gerakan politik yang disimbolisasi agama.

Entah kenapa, keberadaan pesantren tiba-tiba "meredup" dan hampir tak pernah diekspose oleh banyak media sehingga yang terjadi justru maraknya simbolisasi keagamaan yang berhasil merebut simpati masyarakat perkotaan. Apakah karena pesantren lebih didominasi oleh kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) yang belakangan justru dilanda fitnah politik yang luar biasa?.

Bisa jadi benar, karena sejauh ini ormas NU dipersepsikan oleh kalangan "gerakan politisasi agama" sebagai dinding penghalang yang semakin sulit menggerakkan aktivitas mereka. Yang paling mengejutkan adalah sekian banyak berita bohong (hoax) yang membanjiri informasi dan seringkali dianggap sebuah "kebenaran", tetapi justru diamini oleh pihak-pihak terpelajar sekalipun. Dalam banyak hal, penyebaran hoax, saya kira, juga merupakan upaya mendiskreditkan pesantren dan ulama-ulama "bersih" lainnya yang seringkali dianggap batu sandungan oleh kalangan Islam-politik.

Menguatnya berbagai gerakan keagamaan yang gandrung terhadap simbol-simbol, telah banyak merubah persepsi keagamaan masyarakat, bahkan pada tahap tertentu berupaya memberangus ingatan mereka akan pesantren dan para ulama pendirinya. Padahal, saya meyakini, pesantren merupakan benteng terakhir pertahanan NKRI yang sejauh ini terbukti dalam banyak hal, mempersatukan dan memperkuat kembali nilai-nilai agama dalam bingkai kebangsaan. 

Masa depan Islam Indonesia ada dalam simpul kekuatan pesantren yang selama ini menjadi kultur NU. Hancurnya pesantren, hanya akan berakibat bagi Islam di Indonesia menjadi sektarian, cenderung berkonflik dan hanya menunggu kehancurannya seperti hancur leburnya negeri-negeri di Timur Tengah, yang justru berkonflik atas nama agama yang ditunjukkan oleh perebutan kekuasaan politik.

Sulit bagi saya melupakan, bagaimana pesantren-pesantren tanpa koordinasi, mengirimkan para santri yang dipimpin para kiai-nya ikut bergabung mempertahankan NKRI dalam sebuah serangan Agresi Militer Belanda di Surabaya. Apakah mereka dipersenjatai? Tidak, karena mereka bermodalkan semangat keagamaan yang menggebu, mempertahankan negara ini dari penjajahan. 

Sejarah kemudian menyebut, mereka hanya bersenjatakan bambu runcing yang sulit diterima akal sehat, bagaimana mereka bisa membuat para penjajah kocar-kacir. Apakah karena strategi perang mereka? Tidak juga saya kira, bagaimana mereka tahu strategi, sedangkan mereka hanya bergelut dengan kitab kuning, khidmat pada guru-guru mereka dan keinginan mereka membela tanah air.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun