Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rina Nose, Soal Hijab dan Pasca Kebenaran

16 November 2017   06:37 Diperbarui: 16 November 2017   15:03 6066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tribunnews.com

Soal Rina Nose yang melepas hijab atau jilbab, nampaknya menjadi viral di media sosial. Pro-kontra yang timbul di masyarakat tentu saja tidak sekadar protes, mencibir atau nyinyir, karena ada juga yang tampaknya biasa-biasa saja dan bahkan mendukung. Jilbab memang sudah seharusnya berada dalam ruang privasi seseorang---untuk memakainya maupun tidak---namun terkadang ketika mewujud dalam ruang publik, pro dan kontra dalam masyarakat akan sulit dihindarkan.

Terlebih bagi seorang public figure yang segala sepak terjangnya mudah diketahui publik, maka sudah sepatutnya dipahami, jika apapun yang kemudian menjadi keputusannya dalam hal berhijab---untuk memakai dan melepasnya---sudah tentu akan menjadi sorotan publik. Dalam sebuah fenomen post-truth (pasca kebenaran) saat ini, memang menjadi sebuah kenyataan, dimana emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dari pada fakta yang objektif (Oxford Dictionaries).

Saya kira, internet dan medsos merupakan faktor sangat berpengaruh dalam persemaian emosional masyarakat di era post-truth saat ini. Seluruh informasi yang diserap oleh masyarakat dari internet, hampir-hampir tak berdasarkan fakta objektif tetapi lebih didorong oleh suka atau tidak suka yang dalam hal tertentu, meningkatkan aktivitas emosional masyarakat. 

Rina Nose, yang beberapa tahun belakangan ini tampil berhijab dengan segala keyakinannya, lalu sontak menjadi bahan perundungan publik ketika dirinya tak lagi menggunakan hijab. Padahal, soal hijab yang diyakini seseorang, merupakan wilayah "privat" yang konsekuensinya merupakan hak pribadi seseorang untuk memakai atau menanggalkannya. Banyak faktor yang mendorong seorang wanita mengenakan jilbab, baik itu dorongan keyakinan pribadi, karena takut akan sanksi sosial, atau terpengaruh lingkungan sekitar. Lagi pula, hijab bukan wilayah publik, dimana setiap orang bisa menilai, mengkritik, menyalahkan atau bahkan "memaksa" hak pribadi seseorang.

Bagi sebagian besar umat muslim, hijab memang merupakan sebuah "kewajiban agama" yang seakan menjadi "dogma" yang tak mungkin dilanggar oleh wanita muslim. Sulit untuk beranggapan, bahwa keberadaan hijab sendiri sebenarnya adalah "produk budaya" yang kemudian disyariatkan kepada wanita muslim untuk mengenakannya. 

Sebuah "produk budaya" karena memang definisi hijab atau "jilbab" sendiri dari sisi kebahasaan tidaklah seragam, tergantung siapa dan di wilayah mana memakainya. Dulu di Indonesia, para Nyai atau istri kiai, hanya cukup mengenakan kerudung yang menutupi sebagian rambut mereka, tanpa menutupnya rapat-rapat. Lalu, belakangan hijab menjadi semacam trend fashion yang dimodifikasi sesual "selera" masyarakatnya. Bahkan ada istilah baru, "jilbab syar'i" yang entah muncul dari mana dan mengklaim sebagai bentuk berhijab yang paling benar. 

Saya mencoba menelusuri makna "jilbab" karena istilah ini berasal dari bahasa Arab yang diadopsi menjadi bahasa Indonesia, maka saya merujuk kepada makna aslinya yang memang bahasa Arab. Secara etimologi, kata "jilbab" merupakan "ism" atau "kata benda" yang tentu saja bermakna "musytarak" (satu kata tetapi banyak makna). 

Dalam laman maany.com, kata "jilbab" mengandung banyak pengertian. Jilbab bisa berarti "qomis" (pakaian sehari-hari), bisa juga berarti "khimar" (kerudung) atau bisa juga berarti "al-milhaf" (semacam kain yang menyelimuti baju perempuan). Maka dalam budaya Arab, orang berjilbab tentu saja sangat beragam, ada yang hanya penutup kepala saja (rambut agak keliatan), ada yang menutupi semua badannya dengan jilbab, ada yang hanya menutupi kepalanya sampai sebatas dada (seperti kerudung zaman old).

Karena banyaknya pemaknaan soal jilbab dalam bahasa Arab, tentu saja hal ini menjadi perbedaan pendapat diantara sekian banyak ulama. Perbedaan tentu saja hal yang wajar dalam dinamika pengetahuan, sepanjang masing-masing dapat mempertanggungjawabkan argumentasinya secara logis dan tentu saja bersandar pada kaidah-kaidah keagamaan. 

Tak bisa seseorang atau sekelompok orang mengklaim bahwa kriteria soal jilbab dirinyalah yang paling benar, karena jilbab tidak semata-mata perintah agama, tetapi terkait erat dengan kultur masyarakat tertentu. Di wilayah Timur Tengah saja, pemakaian jilbab sangat beragam, ada yang tertutup semua hanya dibagian matanya yang terbuka (burqa), ada yang sekadar diikatkan di kepala, atau yang paling umum adalah menutup seluruh kepalanya dan hanya wajahnya saja yang ditampakkan.

Kita sebagai umat muslim belakangan, tentu tak pernah mengetahui, seperti apa sebenarnya jilbab yang dimaksud pada zaman Nabi Muhammad dulu. Hal ini bahkan, tak dirinci secara pasti dalam berbagai literatur Islam lainnya, termasuk dalam sumber hukum Islam, seperti hadits. Mengenai perintah berjilbab, memang sudah disebutkan al-Quran, seperti dalam surat Al-Ahzab:59, bahwa Nabi Muhammad diperintahkan Allah agar menyuruh anak-anaknya, dan istri-istrinya dan semua wanita beriman agar mengulurkan jilbabnya. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, kewajiban berjilbab pada awalnya hanya khusus diperintahkan untuk istri-istri Nabi dan anak-anaknya, agar dapat membedakan mereka dengan perempuan-perempuan Jahiliyah waktu itu.

Tetapi, Ibnu Katsir menilai, ayat ini kemudian berlaku umum (at-ta'mim ba'da al-takhsish) ketika ada kalimat "wa nisaail mu'minina" (untuk wanita-wanitaberiman). Adapun Qotadah, Ubaidah, Ibnu Mas'ud, Hasan Bashri, Said bin Jabir, Ibrahim an-Nakho'i dan Atho al-Khurasani, sepakat menyatakan bahwa jilbab merupakan "pakaian/kain yang dipakaikan diatas kerudung" (arridaau fawqa al-khimari) mirip dengan baju kurung saat ini. Sedangkan al-Jauhari mendefinisikan jilbab sebagai "al-mulhafah" yaitu "pakaian panjang (mirip mantel atau selimut)".

Perbedaan pendapat mengenai bagaimana seharusnya jilbab dikenakan sebetulnya berawal potongan ayat Al-Quran, "yudniina 'alaihinna min jalaabibihinna" (perempuan-perempuan (muslimah) diperintahkan untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuhnya). Menurut Muhammad bin Sirrin ketika menanyakan mengenai kalimat tersebut kepada Ubaidah as-Salmani menyatakan bahwa jilbab yang dimaksud adalah "seluruh pakaian yang menutupi seluruh tubuh, wajah dan rambutnya, kecuali mata sebelah kiri yang terlihat". Adapun Ibnu Abi Hatim berdasarkan riwayat dari Az-Zuhri menyatakan bahwa jilbab hanya dikenakan kepada wanita yang sudah menikah saja, karena jika gadis memakai jilbab dikhawatirkan menyerupai wanita-wanita yang sudah merdeka atau sudah menikah (Tafsir Al-Quran Al-Karim: Ibnu Katsir).

Jadi asumsi saya, jilbab selain sebagai sebuah perintah syariat juga berkaitan dengan norma dan budaya bangsa Arab waktu itu, dilihat dari beberapa perbedaan pendapat mengenai konteks jilbab itu sendiri. Hal ini sebagaimana diceritakan kembali oleh Imam as-Sudaiy ketika menafsirkan surat Al-Ahzab: 59 bahwa asbabun nuzul (peristiwa historis turunnya ayat) berkaitan dengan sekelompok laki-laki di Madinah yang seringkali keluar menjelang malam. 

Mereka ketika bertemu dengan wanita-wanita miskin yang lemah diantara penduduk Madinah, lalu menggodanya. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan kepada wanita yang berjilbab. Jika wanita itu berjilbab, maka mereka berkata, "ini wanita merdeka, biarkan dia lewat". Tetapi ketika yang ditemui adalah wanita tidak berjilbab, maka mereka berkata,"Ini adalah budak, maka dekatilah mereka". (Tafsir Al-Quran Wa I'robuhu Wa Bayanuhu: Dr. Muhammad Thaha Dlurroh)

Dengan demikian, jilbab menurut saya merupakan "pakaian kehormatan wanita" yang lekat dengan kondisi kebudayaan Arab, karena dengan menutup aurat, wanita akan terhindar dari fitnah (godaan, cemoohan, atau pelecehan). Adapun mengenai bentuk ataupun modelnya, jilbab merupakan "produk budaya" yang secara historis dilembagakan oleh setiap masyarakat yang nota bene hidup dalam lingkungan mayoritas muslim. 

Persoalan jilbab merupakan kain yang menjadi penutup kepala ataupun bukan bagi seorang wanita muslim, tak pernah ada kesepakatan diantara para ulama. Itulah kenapa, ada sebagaian ulama yang beranggapan, jilbab adalah menutup aurat bagi wanita, dan tidak memperlihatkan "perhiasannya" kepada publik, kecuali muhrim-nya sendiri.

Jadi dengan demikian, jilbab merupakan upaya menutupi aurat seorang wanita beriman agar tidak dilecehkan laki-laki dan tentu saja memiliki kesan "terhormat". Jika zaman Jahiliyah dulu, bahwa wajah merupakan bagian dari pemicu timbulnya fitnah dari laki-laki, maka Nabi Muhammad  kemudian membatasi apa saja yang boleh terlihat dari wanita beriman. Nabi, hanya memberi isyarat, dengan menunjuk ke bagian wajah dan telapak tangan yang hanya boleh dilihat oleh laki-laki lain selain muhrimnya.

Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Nabi saw pernah menegur Asma binti Abu Bakar yang berkunjung ke rumahnya tapi dengan baju yang tipis, sehingga Nabi saw kemudian berpaling dan menyuruh Asma untuk menutup auratnya seraya menyebutkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah wajah dan telapak tangan.

Berbagai peristiwa sejarah dalam tradisi Islam, jelas terlihat, bagaimana jilbab bukan sekadar aturan syariat yang diwajibkan bagi wanita beriman, tetapi ia telah menjadi produk budaya yang terus berinteraksi dengan pelbagai arus perubahan sosial. Sebagai sebuah "produk budaya", jilbab tentu saja diinterpretasikan secara berbeda dan terkait dengan kebiasaan yang mewujud dalam sebuah masyarakat tertentu. 

Lalu, apakah kita berhak menilai seseorang karena dia memakai atau melepas jilbabnya? Era post-truth akan memperlihatkan, bagaimana sikap emosional lebih banyak dipergunakan untuk menilai seseorang di ranah publik, sehingga opini yang dibangun-pun semuanya berdasarkan kecondongan emosional, bukan atas dorongan fakta yang objektif. Berjilbab atau tidak, itu hak pribadi seseorang, bahkan sesuatu yang sangat privat, bukan menjadi bagian konsumsi publik, apalagi dengan penuh emosional, kita mengklaim kebenaran subjektivitas sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun