Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

UU Ormas, Islam, dan Konflik Politik

31 Oktober 2017   15:20 Diperbarui: 1 November 2017   10:44 3227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pengunjuk rasa ormas Islam melakukan aksi demo di Bundaran Patung Kuda, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (18/7/2017). Aksi itu menolak Pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pengaturan organisasi kemasyarakatan atau ormas.(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Soal Perppu Ormas yang saat ini masuk Prolegnas 2018 DPR, seakan-akan menjadi sebuah aturan yang tidak saja dianggap membunuh demokrasi, tetapi menohok bagi pihak-pihak tertentu yang sengaja dijadikan sasaran tembak untuk dibungkam segala aspirasinya. Padahal, setiap undang-undang apapun, apalagi menyangkut soal politik sudah pasti menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat, sehingga perlu kecerdasan dalam memahaminya.

Sejauh ini, fraksi di DPR memang ada yang menerima secara bulat, menerima tetapi dengan catatan dan menolak sepenuhnya soal Perppu yang telah disepakati untuk dijadikan undang-undang ini. Bagi saya, melihat Perppu Ormas yang nantinya akan dikukuhkan menjadi undang-undang memang sudah sesuai dengan mekanisme politik yang berlaku, walaupun rentan terjadi konflik ditengah masyarakat.

Setiap aturan apapun, jelas memiliki tujuan jangka panjang, yaitu mengatur, mengelola, sekaligus memberlakukan sanksi bagi pelanggar, yang secara keseluruhan berdampak pada peningkatan tata kelola sosial secara lebih baik. Bayangkan jika aturan mengenai ormas ini tidak diperketat, justru akan timbul friksi dalam masyarakat yang mungkin bisa saja melahirkan konflik-konflik baru berkepanjangan. 

Mempertentangkan antara kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi dalam lingkup demokratisasi dengan aturan keormasan, harus dilihat secara jernih melalui perspektif hukum, tidak melulu dipandang secara politis. Keberadaan undang-undang keormasan jelas bertujuan untuk kemaslahatan bersama, bukan bagian dari cara efektif penguasa untuk menjegal salah satu kelompok saja. Kecerdasan dalam memandang keberadaan undang-undang ini sangat diperlukan, karena akan terhindar dari sikap emosional yang "memihak".

Menarik melihat bagaimana Sekjen Kementerian Agama, Nur Syam, secara cerdas mengajukan pendapat bahwa umat Islam jangan merasa paling menderita dan dan jadi sasaran tembak akibat disahkannya Perppu Ormas menjadi undang-undang ini (tempo.co, 26/10/2017). Karena sejauh ini, berbagai ormas Islam justru terkesan paling meradang ketika aturan ini diberlakukan. Seakan-akan aturan pemerintah ini bertentangan dengan ajaran agama, dan yang paling mengharukan bahwa undang-undang ini memang sengaja dibuat untuk membungkam aspirasi politik umat Islam. Saya kira, sebuah aturan yang diberlakukan, bukan untuk kalangan tertentu saja, tetapi berlaku untuk semua, siapapun yang melanggar jelas akan mendapatkan konsekuensi secara hukum.

Saya bahkan beranggapan, undang-undang sama kedudukannya dengan syariat yang dalam sejarahnya, berlaku juga untuk seluruh lapisan masyarakat. Syariat jelas terbentuk melalui proses kesejarahan yang selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial-politik setempat, karena syariat merupak produk hukum yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama bukan untuk kepentingan satu pihak. 

Syariat bukan merupakan produk hukum yang berdiri sendiri, sehingga kemudian ketetapannya seakan tak mungkin bisa diubah, terlebih soal hukum dan undang-undang, sangat terbuka untuk diperbaiki, diubah ataupun diganti. Saya kira, keberadaan UU Ormas pada akhirnya, adalah bentuk kesepakatan politik (istibdadiyyah) yang bertumpu pada hasil musyawarah berbagai pihak, bukan atas dasar kepentingan kelompok atau pandangan tersendiri.

As-Sihristani pernah menulis dalam sebuah karya monumentalnya, "Al-Milal wan Nihal" menyebutkan bahwa setiap kelompok diantara manusia, tentu akan bersepakat ketika bergabung membentuk sebuah ikatan sosial lebih besar (jama'ah) yang didahului oleh dibuatnya aturan-aturan bersama sebagai suatu kebutuhan hidup bersama. Kebutuhan bersama ini tentu saja dalam hal mencegah, mewajibkan, melarang atau bahkan menjatuhkan sangsi bagi siapapun yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Bentuk kesepakatan bersama ini dalam sejarah kemanusiaan dikenal dengan istilah "minhaj" atau "syariat" atau juga "sunnah".

Sejauh ini, memang terdapat kekhawatiran banyak pihak, jika beberapa pasal krusial dalam undang-undang ini tak direvisi, akan berdampak lebih jauh pada bentuk kekuasaan yang cenderung otoriter. Tentu saja, ini akan menjadi perdebatan panjang dan menjadi domain parlemen dalam hal pengesahannya. Lucunya, muncul beberapa sikap penolakan dari berbagai kelompok masyarakat, seperti misalnya, "jangan memilih parpol yang menyetujui undang-undang ormas", padahal undang-undangnya pun baru masuk Prolegnas 2018 dan pasti masih membutuhkan waktu panjang untuk disahkan. Hal ini kemudian dihubungkan dengan viralnya potongan video pidato Mendagri yang melarang ormas yang bertentangan dengan ideologi Pancasila, tetapi "membiarkan" ideologi lainnya yang sudah sejak awal dilarang, seperti komunisme, marxisme-leninisme dan atheisme.

Kondisi ini jelas berdampak pada pemahaman yang keliru soal pemberlakuan UU Ormas, dimana seakan-akan ormas yang berafiliasi terhadap Islam justru dilarang, padahal sejauh ini selama tidak bertentangan dengan ideologi negara, jelas menjadi bagian dari kebebasan masyarakat. Saya kira, PPP juga berasaskan Islam ketika menyatakan fusi dengan berbagai parpol lainnya yang satu "ideologi", hanya saja ketika masuk dalam lingkup kebangsaan dan kenegaraan, Pancasila tetap menjadi ideologi bersama yang dianut oleh seluruh ormas apapun, tanpa kecuali. 

Pancasila tentu saja menjadi "pandangan hidup" bersama yang pada akhirnya mengenyampingkan ego-ego sektoral lainnya, baik berdasarkan kelompok, agama atau paham primordialisme yang berpotensi mengancam ideologi negara. UU Ormas memang diperlukan, selama dapat membimbing, mengatur, dan memperbaiki tata kelola sosial secara lebih baik dan minim konflik.

Logika diberlakukannya UU Ormas ini, memang bertujuan meminimalisir konflik yang terjadi dalam masyarakat, maka sudah seharusnya tidak berasumsi pada pembubaran salah satu ormas saja yang dianggap "bertentangan" dengan kebijakan penguasa. Apalagi jika diskenariokan bahwa ormas yang dianggap bertentangan selama ini adalah tendensius kepada beberapa ormas islam, jelas ini tidak saja bentuk otoritarianisme tetapi lebih jauh mengebiri proses-proses demokratisasi yang sudah baik berjalan. 

Saya justru sepakat dengan arahan MUI yang menyatakan, bahwa UU Ormas sejauh ini sudah sesuai dengan mekanisme politik, walaupun tetap harus dicermati karena ada potensi konflik dalam pemberlakuannya (Koran Tempo, 31/10/2017). Oleh karenanya, MUI tetap mengimbau agar Presiden Jokowi dan DPR tetap merespons aspirasi masyarakat untuk merevisi pasal-pasal krusial yang dipersoalkan.

Kisruh soal undang-undang ormas ini sepertinya terlampau jauh melewati batas-batas mekanisme politik, karena yang muncul justru mempertentangkan "keislaman" dengan soal penegakkan aturan kesepakatan bersama soal keormasan. Penolakan yang paling keras memang muncul dari sekelompok ormas Islam, dan tentu saja mereka seakan-akan dirugikan oleh keberadaan aturan ini. Saya kira, perlu cerdas dalam menangani setiap masalah, bukan malah memperkeruh kondisi lalu dengan sangat mudahnya ber-suudzon kepada pihak lain. 

Ada baiknya saya mengutip doa Nabi Yunus, yang diabadikan dalam Al-Quran, di saat kondisi dirinya dilanda musibah yang berat untuk dihadapi, "Tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang berbuat zalim." (QS Al-Anbiya':87). Doa ini tentu saja mengingatkan, bahwa kita jangan terlampau berprasangka buruk kepada pihak lain, karena biasanya keburukan adalah karena kita zalim kepada diri kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun