Logika diberlakukannya UU Ormas ini, memang bertujuan meminimalisir konflik yang terjadi dalam masyarakat, maka sudah seharusnya tidak berasumsi pada pembubaran salah satu ormas saja yang dianggap "bertentangan" dengan kebijakan penguasa. Apalagi jika diskenariokan bahwa ormas yang dianggap bertentangan selama ini adalah tendensius kepada beberapa ormas islam, jelas ini tidak saja bentuk otoritarianisme tetapi lebih jauh mengebiri proses-proses demokratisasi yang sudah baik berjalan.Â
Saya justru sepakat dengan arahan MUI yang menyatakan, bahwa UU Ormas sejauh ini sudah sesuai dengan mekanisme politik, walaupun tetap harus dicermati karena ada potensi konflik dalam pemberlakuannya (Koran Tempo, 31/10/2017). Oleh karenanya, MUI tetap mengimbau agar Presiden Jokowi dan DPR tetap merespons aspirasi masyarakat untuk merevisi pasal-pasal krusial yang dipersoalkan.
Kisruh soal undang-undang ormas ini sepertinya terlampau jauh melewati batas-batas mekanisme politik, karena yang muncul justru mempertentangkan "keislaman" dengan soal penegakkan aturan kesepakatan bersama soal keormasan. Penolakan yang paling keras memang muncul dari sekelompok ormas Islam, dan tentu saja mereka seakan-akan dirugikan oleh keberadaan aturan ini. Saya kira, perlu cerdas dalam menangani setiap masalah, bukan malah memperkeruh kondisi lalu dengan sangat mudahnya ber-suudzon kepada pihak lain.Â
Ada baiknya saya mengutip doa Nabi Yunus, yang diabadikan dalam Al-Quran, di saat kondisi dirinya dilanda musibah yang berat untuk dihadapi, "Tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang berbuat zalim." (QS Al-Anbiya':87). Doa ini tentu saja mengingatkan, bahwa kita jangan terlampau berprasangka buruk kepada pihak lain, karena biasanya keburukan adalah karena kita zalim kepada diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H