Kepolisian kita tampaknya sedang kalut, menentukan mana kasus paling penting yang harus segera selesai, apakah kasus chat mesum Rizieq Shihab ataukah potong kompas, menyelesaikan secara tuntas siapa dalang sebenarnya yang melakukan teror kepada Novel Baswedan. Saya harap, kepolisian dapat secara profesional melihat pentingnya penyelesaian kasus secara objektif, bukan didasarkan oleh pertimbangan “politis”.
Karena seperti yang kita lihat, Habib Rizieq bahkan sudah berstatus sebagai “buronan” yang gambar dirinya sudah dipasang di sentra-sentra keramaian. Bahkan, red notice sudah dikirimkan kepolisian Indonesia agar menjadi pertimbangan pihak interpol untuk “menangkap” seseorang yang tersandung kasus hukum di Indonesia. Namun, sebegitu pentingkah kasus chat mesum Rizieq dibandingkan kasus Novel?
Pertanyaan di atas sebenarnya dapat dengan mudah dinilai publik, sejauh mana keseriusan kepolisian menyelesaikan berbagai kasus penting di tengah masyarakat, apakah masih berkutat pada hal yang “ecek-ecek” ataukah benar-benar pertimbangan hukum yang berdampak pada kemaslahatan umat lebih banyak.
Bagi saya, kasus Novel yang semakin tak jelas, justru membuat sinis publik terhadap tugas kepolisian yang semakin menunjukkan sikap “tebang-pilih”, menebang yang “penting-penting” dan memilih yang “ecek-ecek”. Tuntutan publik yang semakin kuat agar kepolisian segera menyelesaikan kasus Novel justru semestinya menjadi pertimbangan mereka bahwa kasus Novel justru “dicurigai” terdapat kendala politis yang sengaja ditutup-tutupi melalui kasus-kasus lain yang mulai dibesar-besarkan.
Kepolisian seakan sedang dihadapkan pada problem darurat, menguji adu kuat antara kasus Rizieq dan Novel yang keduanya mendapat desakan dari masyarakat. Kasus Rizieq terlampau besar unsur politisnya dan sudah sejak awal menjadi “permainan” para penguasa, sehingga mau tak mau kepolisian juga dalam hal ini sama, mendapat tekanan dari penguasa agar Rizieq segera dipenjara. Berbeda denga kasus Novel, yang sejak sedari awal tercium aroma “kekurangsukaan” penguasa terhadap langkah-langkah Novel yang berani membongkar berbagai macam kasus korupsi yang mulai membuka cela dan borok mereka.
Novel, saya kira, adalah korban kebiadaban orang-orang yang “kuat” yang tidak mau dirinya terseret soal korupsi yang akan membuat seluruh kariernya berhenti. Maka, dengan teror, mereka berhasil “membungkam” Novel dan kepolisian pun dipaksa bertekuk lutut tak mampu menguak kasus ini.
Publik lebih banyak yang menuntut agar kasus Novel segera terkuak, bukan menuntut Habib Rizieq agar segera dipenjara. Ini dibuktikan dari sikap antusiasme masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Peduli KPK, mendesak mengusulkan pembentukan tim independen kepada presiden untuk membantu mengungkap dalang aksi teror dalam kasus Novel.
Usulan tim independen koalisi ini juga jelas atas mandulnya Komnas HAM karena gagal membentuk tim independen gabungan pencari fakta untuk kasus Novel dan memutuskan hanya membentuk tim pemantauan yang akan memantau saja sudah sampai mana penyelesaian kasus ini berjalan. Saya kira, publik pasti dapat menilai apa sesugguhnya yang sedang “bermain” di balik sulitnya pengusutan kasus teror yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Seakan sedang nemberikan keyakinan pada publik, di mana pihak kepolisian sedang memberikan kesan lebih “kuat” untuk kasus Habib Rizieq dengan menerbitkan red notice, memajang foto diri Rizieq yang dianggap buron hanya karena soal chat mesum yang menjeratnya. Rizieq bagi sebagian besar orang hanyalah “penjahat politik” sehingga kesan politisasi dalam berbagai kasus Rizieq kian mengental dan berhasil mengubah opini publik. Pun, dunia internasional, termasuk Arab Saudi yang ditengarai sebagai negara yang “menyembunyikan” Rizieq lebih memandang ia sebagai “buronan politik” yang pada akhirnya mereka enggan ikut campur persoalan politik negara lain.
Saya khawatir, kredibilitas kepolisian di negeri ini malah semakin dipertanyakan dan semakin menambah turun kepercayaan publik jika kasus Novel yang sedemikian besar “dikalahkan” oleh kasus Rizieq yang sepertinya mempunyai “kekuatan tersembunyi” sampai penyelesaiannya melibatkan dunia internasional. Lalu publik bertanya-tanya, kenapa kepolisian tidak meminta bantuan interpol saja jika memang tak sanggup mengungkap kasus Novel? Membandingkan kekuatan hukum soal kasus Rizieq dan Novel yang tidak berimbang seharusnya disadari oleh pihak kepolisian untuk tidak melulu memenuhi keinginan penguasa. Tetapi, bersikaplah bijak dan adil, bahwa ada sebagian besar masyarakat yang sedang cemas akibat perlakuan teror yang belum juga tertangkap siapa pelakunya.
Diakui maupun tidak, kasus Rizieq Shihab dan Novel Baswedan sepertinya sedang “adu kuat” mana yang pada akhirnya lebih dipilih kepolisian untuk diselesaikan, tentunya dengan berbagai pertimbangan politis dan juga ekonomis. Walaupun saat ini kasus Rizieq Shihab dianggap lebih penting karena desakan “politis” yang begitu besar dan tuntutan para penguasa terkesan lebih kuat, seharusnya tidak juga membiarkan kasus Novel dengan berbagai alasan klasik yang diajukan soal kenapa kasus Novel sulit diungkap.
Hilangnya bekas sidik jari pelaku teror yang seharusnya ada pada gelas yang berisi cairan air keras, justru semakin besar menambah kecurigaan publik. Apalagi kabar soal dilepaskannya beberapa orang yang terindikasi berada di sekitar rumah Novel, tanpa penyelidikan lebih dalam, semakin membuat pengungkapan kasus Novel tidak jelas.
Melihat bagaimana adu kuat kasus Rizieq dan Novel dalam kacamata seorang awam, bukanlah perkara kasus mana yang menang atau yang kalah dalam versi percepatan penyelesaiannya, tetapi melihat pada upaya keseriusan kepolisian dalam menangani berbagai pelanggaran hukum. Terdapat dampak yang lebih besar bagi sebuah pelanggaran hukum yang akan berpengaruh pada ekspektasi masyarakat terhadap profesionalitas aparatur penegak hukum, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme.
Tetapi, publik awam akan mampu juga menilai, bahwa kasus seperti pornografi kebanyakan menjadi “korban” kekurangjelasan pasal-pasal dalam undang-undang pornografi. Sering kali “korban” pornografi malah dituduh jadi “pelaku” padahal keduanya jelas memiliki implikasi hukum yang berbeda. Jika pihak aparat hukum sudah membedakan bahkan mengukur mana kasus yang lebih “kuat” disenangi pihak penguasa yang kemudian didahulukan, siap-siap saja publik akan dipertontonkan kasus serupa: adu kuat kasus X dan kasus Y! Tunggu saja tanggal mainnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H