Pelaksanaan ibadah puasa yang diwajibkan kepada umat muslim tidak harus dipandang sebagai bentuk ritual tahunan, sekadar merubah waktu kebiasaan pola makan dan minum secara teratur. Namun lebih dari itu, puasa membawa dampak sosial yang lebih jauh, sanggup meruntuhkan sekat-sekat perbedaan kelompok, primordialisme, atau ideologis karena kewajiban berpuasa dalam konteks agama tidak ditujukan untuk kelompok sosial tertentu, tetapi bagi seluruh orang yang beriman. Puasa Ramadan jelas, semestinya mampu menghancurkan berhala-berhala ekslusivisme yang selama diluar Ramadan tumbuh merajalela. Ekslusivisme itu berbentuk perbedaan kelompok, mazhab, pemikiran, politik dan apapun yang membedakan antara “kita” dan “mereka”.
Inilah mengapa kemudian, puasa Ramadan diharapkan memperkokoh watak inklusivitas seseorang atau kelompok dan secara tegas mampu menutup rapat-rapat ruang ekslusivitas yang tumbuh dalam setiap individunya. Dalam berpuasa tidak ada perbedaan, semua menahan diri, menahan dari emosi yang berlebihan, hasrat libido yang membuncah, menahan keinginan makan atau minum di siang hari.
Hampir keseluruhan batasan puasa tak pernah dilanggar oleh siapapun yang menjalankannya. Tak peduli pejabat, birokrat, konglomerat atau ahli ibadat, semua berada dalam kepatuhan yang sama: berpuasa. Bahkan, diantara sekian ibadah yang ada dalam tradisi Islam, hanya puasa yang mampu membangun watak inklusivisme, melalui penyadaran atas nilai-nilai kepuasaan yang setiap tahun dijalaninya.
Dibandingkan dengan ritual ibadat lainnya, puasa merupakan rangkaian ibadah yang paling mendekati sifat-sifat Ketuhanan, baik bersikap sabar, berkasih sayang, selalu merasa cukup, serta meningkatkan kesucian jiwa. Belum lagi bahwa puasa merupakan ibadah yang jauh dari unsur riya (pamer kebaikan), yang mungkin dalam ibadah lainnya bisa saja terjadi, seperti sholat, sedekah, zakat atau haji. Hanya puasa yang langsung dikembalikan “hasilnya” kepada Tuhan, berdeda dengan ibadah lainnya yang dikembalikan “hasilnya” kepada dirinya sendiri. Sholat, sedekah atau haji, kebaikannya akan berbalik kepada yang melakukan, lain halnya dengan puasa yang langsung dikembalikan kepada Tuhan. Tuhan nampaknya mempunyai kepentingan tersendiri dengan puasa, sampai-sampai Dia secara khusus menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya”. Betapa kedudukan puasa begitu penting di mata Tuhan, sehingga hampir membedakan dengan ibadah-ibadah wajib lainnya.
Karena hakikat berpuasa adalah seluruhnya untuk Tuhan, maka kita tidak memiliki kepentingan apapun terhadap puasa yang sedang kita jalankan. Kita cukup meneladani nilai-nilai kemanusian yang ada dalam puasa, sehingga puasa kita bukanlah puasa pribadi, puasa primordial atau puasa mazhab, tetapi puasa kita adalah puasa inkusif, sadar akan nilai-nilainya yang serba humanistik kemudian membentuk watak kepribadian diri kita sendiri.
Inklusivitas puasa terletak pada penyadaran terhadap nilai-nilai terdalamnya, seperti humanisme, kebersamaan, atau persatuan yang selanjutnya membentuk pribadi-pribadi yang berwatak humanis atau inklusif, jauh dari sifat-sifat ekslusivisme yang mendorong kepada keserakahan, kesewenang-wenangan, permusuhan atau fanatisme. Sebagai muslim yang baik, kita semestinya terus mengejar puasa inklusif, lebih banyak meneladani sifat-sifat Ketuhanan di dalamnya dan disitulah kepentingan Tuhan atas puasa manusia.
Nilai-nilai yang ada dalam puasa kadang seringkali tanpa kita sadari justru luput dari ekspektasi kita. Kita hanya merasakan hal-hal yang sifatnya “terluar” dari puasa itu sendiri, sekadar menahan lapar dan haus merujuk pada waktu yang telah ditetapkan. Sesekali mungkin muncul watak kedermawanan dari orang berpuasa, meskipun watak itu muncul sepanjang puasa dan berangsur-angsur hilang tatkala dirinya tidak lagi berpuasa. Terlalu lamanya kita terjebak pada nilai-nilai simbolik puasa, sehingga seringkali aktualisasi nilai-nilai humanistiknya terasa gagap bahkan terkesan dipaksakan.
Puasa dengan kecenderungan ekslusif jelas hanya mengejar simbolisasi dalam bentuk ritual tahunan, mengatur pola makan, membatasi segala aktivitas, mentradisikan buka bersama yang hampir-hampir melupakan nilai-nilai paling penting dalam berpuasa. Mengejar kecenderungan inklusivitas puasa, jelas tidak terjebak pada nuansa simbolik yang ditawarkan puasa Ramadan, tetapi lebih ke arah penyadaran bersama akan nilai-nilai kemanusiaan yang terbangun, baik itu persatuan, kesatuan, kebersamaan dan penguatan solidaritas sosial.
Puasa inklusif berarti membangun kesadaran melalui puasa dengan tidak mementingkan pada hal-hal simbolik, tetapi lebih mengedepankan aktualisasi nilai kepuasaan yang humanis dan inklusif. Proses penyadaraan seperti ini memang membutuhkan waktu yang secara terus menerus diaplikasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sadar bahwa puasa ini adalah untuk Tuhan, paling tidak kita telah membangun watak kejujuran pada diri sendiri untuk terus meneladani sifat-sifat Ketuhanan.
Ketika puasa mampu meneladani sifat-sifat Ketuhanan, maka setiap orang berpuasa seharusnya berwatak inklusif—sama halnya seperti Tuhan—yang memberikan kasih sayang kepada siapapun, menghargai siapapun, tidak pernah membeda-bedakan seseorang karena kelompoknya, keyakinannya, atau strata sosialnya.
Watak inklusif akan mengembangkan sikap penerimaan akan sebuah perbedaan (pluralis) dan menghargainya serta terbiasa mengedepankan proses dialogis dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Inklusif berarti keluar dari kediktatoran nafsu pribadi, atau ambisi sesaat yang seringkali mengotori jiwa menuju cara pandang humanistik yang pluralis. Seseorang yang menghayati nilai-nilai puasa secara mendalam, berarti ia akan lebih disadarkan betapa puasa akan membentuk karakter taqwa yang benar-benar memancarkan kebersihan jiwa, bukan sekadar simbolisasi kemanusiaan yang dipertontonkan.
Mengejar puasa inklusif adalah keharusan agar kita bisa menyingkirkan “lemak-lemak” kotoran yang masih menempel dalam jiwa yang diliputi oleh ambisi-ambisi dan nafsu keduniaan. Sadar ataupun tidak, berpuasa semestinya meneladani sifat-sifat Tuhan, bukan hanya sekadar ritualitas tahunan yang hampir tak merubah karakter apapun dalam diri seseorang. Nilai-nilai humanisme yang ada dalam puasa sejatinya terus diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam ruang-ruang sosialitas yang tidak berhenti hanya sebatas pada ritualitas tahunan puasa Ramadan.
Puasa inklusif adalah “jihad melawan nafsu kita sendiri”, meruntuhkan berhala-berhala ekslusivisme yang ada dalam diri kita sendiri, baik kesombongan, ambisi kekuasaan atau segala hal yang lebih banyak mengejar kenikmatan dan keuntungan individual tetapi mengorbankan kepentingan sosial. Sadar akan agungnya nilai-nilai puasa dan mengaktualisasikannya, berarti puasa akan membentuk karakter pribadi seseorang yang berwatak inklusif yang dalam bahasa agama disebut “taqwa”.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H