Profesi menjadi storytelling nampaknya bukanlah sebuah profesi biasa yang setiap orang dapat menjalankannya. Ia menjadi sebuah profesi yang didukung oleh bakat, kebiasaan atau “kemampuan khusus” yang didapatkannya melalui interaksi yang terus-menerus dengan sebuah lingkungan yang mampu membentuk pribadinya piawai sebagai storyteller.
Latar belakang seseorang yang senang dengan dunia akting, seperti teater, dialog interaktif dengan beragam struktur sosial dalam masyarakat atau memiliki pribadi yang ekspresif ketika berinteraksi merupakan modal utama seseorang untuk terjun lebih jauh menekuni profesi storytelling ini. Seorang storyteller atau pendongeng biasanya sangat disenangi anak-anak, karena dengan dongeng, sebuah pesan moral yang terkadang sulit dicerna dan dimenegerti anak-anak, akan lebih mudah diterima sebagai “produk kognitif” yang dengan cepat ditangkap dalam imajinasi si anak.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk seorang sahabat yang saat ini sudah berhasil menjalani profesi sebagai storyteller yang semakin dikenal ditengah masyarakat di kawasan Tangerang. Mungkin belum banyak yang mengenal sosok perempuan belia ini, tetapi untuk kawasan BSD-Tangerang, nama julukan “Bunda Lasty Teras Dongeng” cukup akrab di telinga para aktivis pendidikan terutama di level pendidikan dasar (elementary school) atau pra-pendidikan (pre-school).
“Brand name” dengan menambahkan kata “teras dongeng” dibelakang nama dirinya, memang cukup “menjual” untuk kategori para pendongeng bagi anak-anak. Perempuan yang masih berusia 39 tahun ini telah menjadi storyteller lebih dari 10 tahun dan sukses mengembangkan bisnis dongeng dengan nama “Teras Dongeng BillQistee Educatioan Centre”. Sejauh ini, sasaran bisnis dongengnya adalah sekolah-sekolah internasional pada level dasar, karena umumnya, anak-anak pada level tersebut sangat gandrung mendengarkan dongeng-dongeng yang diperdengarkan secara aktraktif, sehingga mudah diterima dengan cepat oleh sisi kognitif mereka.
Perempuan yang bernama asli Lasti Saniyah ini memiliki latar belakang seni teater yang cukup kuat. Sejak mengenyam pendidikan tingginya di kampus IAIN—sekarang UIN—Ciputat, aktivitas perkuliahannya selalu diisi dengan keterlibatan dirinya secara intensif dengan dunia akting dan pementasan teater.
Mungkin keaktifannya dalam dunia peran selama di teater, membuat dia kemudian menekuni seni storytelling yang memang sudah menjadi hoby-nya sejauh ini. Bak gayung bersambut, ketika sekolah internasional High Scope di kawasan Jakarta Selatan kebetulan sedang membutuhkan seorang storyteller yang mampu berbahasa asing dengan baik, maka ia kemudian diterima sebagai staf pengajar khusus storytelling bagi siswa dalam lingkup elementary.
Bisa jadi, bahwa sebelumnya, profesi storytelling ini tidak pernah terpikir olehnya untuk dijadikan sebagai peluang bisnis dalam dunia pendidikan. Alasannya, bahwa dunia pendidikan umumnya akan mencari tenaga-tenaga handal dan profesional dengan skill pengetahuan yang cukup mumpuni untuk diangkat sebagai tenaga pengajar yang diarahkan sedemikian rupa untuk meningkatkan kecerdasan seorang murid. Padahal, dunia anak-anak sesungguhnya adalah “dunia bermain” yang seringkali luput dari jangkauan banyak para pendidik yang selalu saja cenderung bermain pada area peningkatan fungsi kecerdasan intelektual.
Padahal, metode yang lebih atraktif, dialogis sekaligus humanis bisa dilakukan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajarannya yang tanpa disadari justru akan lebih melekat baik dalam dunia kognitif seorang anak. Salah satu metode yang cukup berhasil dalam menyampaikan misi moral kepada anak-anak adalah storytelling salah satunya.
Saya beberapa kali hadir dalam kegiatan storytelling yang dibawakan Bunda Lasty dan sangat merasakan begitu mudahnya alur-alur cerita rumit nan penuh nilai-nilai moral bisa sampai dan diterima oleh anak-anak. Cerita nabi-nabi, misalnya, yang ketika dibacakan saja tanpa disampaikan secara atraktif dan dinamis, saya rasa akan sangat sulit dibayangkan oleh imajinasi seoarang anak.
Namun, dengan gaya dan kemampuan storytelling yang dimilikinya, bahkan dengan menggunakan alat-alat bantu seadanya, seluruh cerita yang panjang lebar hanya selesai dengan waktu kurang lebih satu jam dengan tersampaikannya pesan-pesan moral secara baik kepada anak-anak. Bahkan ketika selesai acara-pun, masih banyak anak-anak yang meniru “pesan-pesan moral” yang disampaikan dalam rangkaian cerita para nabi tersebut. Disinilah saya kira, kekuatan sebuah metode storytelling jika dibawakan oleh seseorang yang memang sudah sangat berpengalaman dalam mengolahnya.
Mungkin dalam sejarah Islam, kita mengenal beberapa orang pendongeng dan bahkan ceritanya tak pernah lekang hingga kini, yaitu Abu Nawas atau Nasrudin Hoja. Banyak diantara cerita-cerita mereka yang menginspirasi banyak orang, termasuk pada level anak-anak. Tidak hanya itu, cerita-cerita tentang mereka justru seringkali menjadi bagian dari cerita kita masa lalu, dimana dongeng sebelum tidur sepertinya pernah kita alami yang selalu diperdengarkan oleh orang-orang tua kita dengan mengambil cerita-cerita “ringan” namun penuh nilai moral yang diangkat dari kisah “dua pendongeng” ini.