Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai

6 Februari 2017   13:10 Diperbarui: 6 Februari 2017   13:31 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin adagium diatas kurang lebih tepat menggambarkan kondisi bangsa belakangan ini, bahwa banyak terjadi peristiwa yang diakibatkan oleh segelintir orang yang sengaja “menabur angin” sehingga wajar jika kemudian “badai” harus dituai tidak hanya oleh kalangan “penabur angin” saja  tetapi juga dirasakan oleh hampir seluruh elemen masyarakat lainnya. Efek badai tentunya tidak akan hanya berpusat pada mereka yang menabur angin, tetapi prilaku badai yang tidak konsisten, akan menyapu siapapun, tanpa peduli dia sebagai “penabur angin” ataukah bukan. 

Lalu siapa sebenarnya yang paling merasakan dampak badai ini? Dengan tanpa menyudutkan pihak lain, bahwa umat Islam-lah yang sebenarnya sangat merasakan dampak terkena badai ini. Umat Islam sejauh ini benar-benar terpojokkan oleh beragam peristiwa yang terjadi belakangan ini.

Bagaimana tidak, setelah umat Islam dianggap intoleran dan anti-kebhinekaan, saat ini para tokoh agama termasuk para ulama benar-benar dalam kondisi tekanan, tidak hanya oleh penguasa, tetapi oleh kelompok-kelompok tertentu yang memang “benci” terhadap Islam dan juga ulama. Reaksi umat Islam yang dapat dipotret melalu aksi 212 yang lalu merupakan bentuk kritik kepada penguasa atas ketidakadilan yang seringkali ditimpakan kepada mereka. 

Aksi damai yang berlangsung bersih dan aman ini kemudian dianggap sebagai sebuah “ancaman” oleh negara yang dampaknya semakin memicu pobia yang berlebihan dari penguasa kepada umat Islam. Jelas, bahwa reaksi yang beragam dari umat Islam, baik yang sedikit “keras” ataupun yang mengedepankan cara-cara lunak dan persuasif, nampaknya dipukul rata sebagi “ancaman” oleh penguasa.

Kita tentu merasakan bagaimana perjuangan menuntut keadilan yang disuarakan umat Islam seakan “kandas” dan belum memenuhi rasa keadilan bagi mereka. Belum lagi ditambah oleh tekanan besar yang terus menerus, baik yang diopinikan oleh media massa, stigmatisasi yang tidak adil oleh penguasa, bahkan tidak jarang sinisme dan anggapan-anggapan negatif terhadap Islam dan juga para ulama. Saya kira, inilah bentuk Islamofobia a la Indonesia yang justru berlebihan yang tampaknya dipukul rata tanpa kecuali. 

Siapapun yang melakukan kritik kepada penguasa, asalkan dia memiliki afiliasi terhadap Islam maka akan dianggap sebagai ancaman bagi NKRI. Sungguh, sebuah anggapan yang terlalu jauh dan justru pengingkaran terhadap perjuangan demokrasi yang justru seharusnya diperkuat di negeri ini.

Inilah saya kira, yang kemudian menjadikan situasi sosial-politik di negeri ini jatuh terkulai kedalam kubangan konflik, jauh dari cerminan masyarakat Bhineka Tunggal Ika yang kondusif. Kegiatan-kegiatan keagamaan semakin dikontrol bahkan tak jarang terus “dipantau” oleh penguasa. Bagaimana tidak, penguasa-pun merasa perlu memverifikasi para juru dakwah (da’i) agar bisa disertifikasi sehingga para da’i yang boleh ceramah di muka umum adalah mereka yang secara legalitas diakui oleh pemerintah.

 Jika tidak, maka tidak ada alasan bagi para penceramah di masjid-masjid untuk berceramah di muka umum, baik dalam event keagamaan ataupun event-event sosial lainnya. Para penceramah yang memiliki sertifikatlah yang secara legal diperbolehkan untuk berceramah di masjid-masjid, selain itu akan mendapat teguran atau peringatan dari penguasa karena mereka dianggap da’i ilegal yang menyalahi undang-undang.

Kritik yang mengemuka dari umat Islam pasca persidangan penistaan agama yang melibatkan seorang ulama kharismatis, Kiai Ma’ruf Amin yang dilecehkan justru menuai protes berbagai kalangan dan menganggap Kiai Ma’ruf sebagai “saksi bohong” yang dipolitisasi oleh pihak tertentu. Padahal, pelecehan dan perendahan kepada ulama jelas telah melukai hati umat Islam, apalagi Kiai Ma’ruf merupakan Ketua Umum MUI yang didalamnya bernaung seluruh ormas Islam yang ada di seantero wilayah Nusantara. 

Sikap keagamaan yang diambil oleh MUI dalam banyak hal, tidaklah berdasar inisiatif pribadi atau kelompok tertentu, tetapi berdasarkan kesepakatan seluruh perwakilan ormas Islam yang berada dalam kemah besar MUI. Inilah kemudian yang sangat disesalkan, bahwa masih saja ada tuduhan yang dialamatkan kepada MUI sebagai lembaga yang hanya menerima “pesanan” fatwa dari pihak atau kelompok kepentingan lain.

Belum lagi rasa kekecewaan umat Islam ini benar-benar terobati, baru-baru ini justru muncul polemik seputar kehendak penguasa yang mendata para ulama yang difokuskan terlebih dahulu di Jawa Timur. Menarik memang, karena Provinsi paling timur di wilayah Jawa ini adalah gudangnya pondok pesantren dan sekaligus gudangnya para ulama dan kiai. 

Tidak menutup kemungkinan bahwa dari pendataan para ulama di Jatim ini akan merambah ke wilayah-wilayah lainnya dengan lebih mudah, karena dari Jatim para ulama yang terdata akan menyebutkan kiai-kiai mana yang memiliki afiliasi atau sanad (mata rantai keilmuan berdasarkan guru-murid). Ketersambungan mata rantai keilmuan berdasarkan sanad justru akan mudah dipetakan oleh penguasa setelah kiai di Jatim diverifikasi,karena pada umumnya, kiai-kiai yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara adalah mereka yang sudah terlebih dahulu “mondok” di wilayah Jawa Timur.

Saya kira, semua umat muslim di Indonesia justru akan mempertanyakan, ada apa dengan pendataan para ulama? Apakah para ulama telah membuat keresahan? Atau membuat kegaduhan sehingga perlu diatur dan dibatasi oleh penguasa? Atau sedemikian bahayakah peran ulama sebagai panutan umat di negeri ini? 

Pendataan para ulama yang saat ini sedang dijalankan oleh Kepolisian RI adalah bentuk Islamofobia yang berlebihan para penguasa karena secara tidak langsung menganggap bahwa ulama cukup membahayakan bagi keberlangsungan kondisi kebangsaan dan kenegaraan di negeri ini. Kenapa penguasa tidak mendata saja siapa-siapa yang telah menabur angin di negeri ini? Asumsi saya, memverifikasi sejumlah media yang memiliki muatan-muatan kode etik jurnalistik belumlah cukup, jika tidak diiringi dengan verifikasi terhadap kelompok-kelompok tertentu atau afiliasi politik tertentu yang lebih pro-penguasa.

Pendataan ulama atau verifikasi sejumlah media massa seakan mengingatkan pada masa-masa rezim Orde Baru yang selalu melakukan “screening” terhadap siapapun untuk memutus mata rantai “para pemberontak” agar tidak hidup di negeri ini. Para calon pegawai negeri, militer, kiai, pendidik atau para pelajar yang akan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi akan ada upaya “screening” terlebih dahulu agar diketahui latar belakang mereka, siapa orang tuanya, pernah di organisasi apa, atau pernah berafiliasi dengan politik mana yang justur bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang saat ini sedang dijalankan. Jika memang hal ini sedang dijalankan oleh penguasa saat ini, maka jelas tidak ada bedanya dengan ketakutan rezim Orde Baru yang justru mengingkari nilai-nilai humanisme dan demokrasi. Lalu, siapa yang sebenarnya sedang “menabur angin”?

Sebuah negeri demokrasi, saya kira, bukan negeri yang aman dari kritik, justru negeri dimana para penguasanya selalu siap untuk dikritik dan menerima setiap kritik yang dilontarkan oleh rakyatnya. Kritik justru akan semakin memperbaiki setiap kinerja yang ada, menambah energi semangat untuk tetap senantiasa membangun negeri ini secara bersama-sama. Jika anti-kritik yang dikedepankan, sama halnya dengan sistem besi oligarki yang “memaksakan” setiap keinginan penguasa kepada rakyat tanpa melalui dialog interaktif dengan beragam elemen masyarakat yang ada. Jangan-jangan para penguasa saat ini enggan melepaskan kekuasaannya dan mempertahankan dirinya dengan segala macam hal yang menurut mereka justru dapat melanggengkan kekuasaannya. Bukankah penguasa hanya menjalankan amanat dari rakyat, lalu mengapa harus takut kepada rakyatnya sendiri?   

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun