Sudah 91 tahun organisasi massa Islam yang dikenal kuat dan mengakar ditingkat akar rumput, Nahdlatul Ulama (NU), mewarnai kehidupan sosial-politik di negeri ini.
Pasang-surut NU sebagai ormas tak mungkin abai dari kontribusi yang cukup besar dalam membidani lahirnya kedaulatan republik ini. Ormas yang didirikan pada 1926 ini sejak awal memiliki gagasan yang jelas untuk memberikan wajah Islam yang lebih objektif, ramah, menghargai kearifan lokal, bernuansa kultural-keagamaan dan akomodatif terhadap setiap perbedaan baik sosial, budaya maupun politik.
Gagasan NU didirikan tak terlepas dari keinginan para pioneer-nya untuk tidak alergi terhadap percepatan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga setiap perubahan sosial harus disesuaikan tanpa harus dibenturkan dengan adat, nilai keagamaan ataupun tradisi yang telah lebih dahulu hadir ditengah-tengah masyarakat.
Kuatnya pengaruh gerakan fundamentalisme Islam yang menyebar ke seluruh dunia akibat menguatnya kolonialisme asing (Barat) telah berdampak ke beberapa negeri mayoritas muslim termasuk Indonesia, sehingga Islam-pun tampil dengan wajah gerakan-politik yang memperjuangkan “kebangkitan Islam” melalui wahana puritanisasi ajaran keagamaan yang berhadapan langsung dengan tradisi dan kearifan lokal yang telah hadir dalam masyarakat.
Kaum fundamentalisme memperlihatkan arah gerakan politik yang tanpa kompromi bahkan terhadap kalangan sesama muslim yang masih bersentuhan dengan tradisi lokal.
Kaum fundamentalis memproyeksikan kebangkitan Islam sebagaimana yang telah diperoleh oleh masa keemasan Islam dengan cara memberangus segala macam tradisi yang mereka anggap tidak berkaitan dengan sejarah Islam awal.
Proyeksi kebangkitan Islam yang digagas kaum fundamentalis ternyata tidak linier dengan perjuangan melepaskan diri dari kolonialisme, tetapi justru mengabaikan banyak hal terkait dengan tradisi dan budaya Islam Nusantara yang justru telah terlebih dahulu hadir.
Disinilah saya kira, NU lahir sebagai gerakan sosial mempertahankan tradisi yang sudah mapan dan baik dalam masyarakat seraya memperkuat nilai-nilai keislaman yang telah lama tumbuh tanpa harus berbenturan dengan perkembangan zaman.
Adagium klasik selalu dipakai ormas keagamaan ini sejak awal didirikannya, yaitu “al-muhafadlotu ‘ala qodiim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (menjaga sesuatu yang baik di masa lampau dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Kaidah ini berimplikasi terhadap cara pandang NU soal nilai-nilai sosial keagamaan Islam secara otentik dan substantif: senantiasa memegang teguh kemurnian ajaran Islam yang diajarkan para ulama yang memiliki matarantai pengetahuan (sanad) keagamaan secara sah serta mengedepankan wajah Islam yang substantif berupa penguatan nilai-nilai Islami tanpa harus menonjolkan “sisi luar” Islam melalui simbol-simbol keagamaan.
Orientasi keagamaan NU yang selalu mengedepankan prinsip “jalan tengah” dalam konteks pemikiran keagamaan, sosial maupun politik cukup membuat organisasi ini dipandang oleh banyak kalangan sebagai pembawa panji Islam moderat yang senantiasa meneguhkan prinsip rahmatan lil alamin.
Meskipun prinsip Islam moderat yang dikomandoi NU nampak pasang-surut ditengah terpaan berbagai isu sosial-politik yang terus menerus menggerus zaman. Menguatnya kembali fundamentalisme dan konservatisme Islam belakangan ini akibat sentimen Barat terhadap Islam telah merubah sedikit banyak cara pandang warga NU terhadap dunia politik-kekuasaan.
Dalam konteks kekinian, gejala pertumbuhan konservatisme atau fundamentalisme juga merambah NU dan Muhammadiyah yang selama ini dianggap sebagai corong Islam moderat.
Hari Lahir NU ke 91 yang diperingati di Gedung PBNU, Jakarta, nampaknya bisa menjadi momen penting untuk menguatkan dan memposisikan kembali NU sebagai penggagas utama “jalan tengah” Islam yang saat ini dinilai sangat mendesak.
Bagaimana tidak, ditengah kondisi bangsa Indonesia yang kurang kondusif belakangan melalui tumbuhkembangnya kebencian terhadap segala hal yang berbeda, munculnya gerakan antiintelektualisme dengan mengedepankan fanatisme berlebihan terhadap simbolisasi agama dan lupa terhadap substansi keagamaan itu sendiri, mendesak bagi NU untuk terus memperkuat warisan moderasi Islam yang sudah sejak lama ditanamkan. NU sejauh ini dinilai memiliki kemampuan untuk memperlihatkan wajah Islam moderat, akomodatif, toleran yang sesuai dengan cita-cita sebagai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Sebagai gerbong yang mewadahi puluhan jutaan umat Islam di seluruh Nusantara yang mengakar, NU memiliki dan sukses menanamkan kultur keagamaan yang ramah dan jauh dari sikap provokatif yang jauh tertanam dalam lubuk hati para pengikutnya secara kultural.
Oleh karenanya, gagasan Islam Nusantara yang dicetuskan NU, sesungguhnya memiliki nilai-nilai humanisme, pluralisme dan cenderung akomodatif terhadap segala perbedaan dalam ranah sosial-politik. Islam Nusantara sebenarnya hendak menunjukkan bahwa Ke-NU-an, Keislaman dan Kebhinekaan yang telah mengkristal dalam sejarah bangunan Nusantara merupakan warisan keagamaan yang dibawa oleh para ulama yang selama ini menjadi panutan warga Nahdliyyin.
Sehingga, Islam tidak bertentangan dengan tradisi apapun, tetapi Islam dapat mewarnai dan memberi manfaat terhadap bentuk bangunan sosial-kenegaraan, termasuk Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Slogan Islam Nusantara yang digaungkan NU secara tidak langsung merupakan kritik terhadap kelompok tertentu yang masih mempermasalahkan keragaman dan cenderung mengedepankan simbol-simbol keagamaan yang justru bertolak belakang dengan substansi ajaran Islam itu sendiri.
Sejauh ini, upaya NU dalam menjaga kekondusifan berbangsa dan berbegara tampak lebih didahulukan mengingat bahwa jika suasana tidak kondusif yang menguat, maka kerusakan dan kehancuran solidaritas sosial akan lebih mudah terjadi. Inilah yang selalu dipegang oleh NU melalui adagium fiqh-nya yang terkenal, “dar’u al-mafaasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada membangun kemaslahatan).
Asumsi saya, ditengah menguatnya iklim fundamentalisme dan konservatisme Islam yang mempertontonkan kejumudan, taklid buta terhadap kelompok, antiintelektualisme dan intoleran terhadap perbedaan pemikiran dan pendapat bahkan sangat mudahnya sentimen keagamaan dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat, NU sudah sepatutnya tampil menjadi “penengah” sehingga mampu meredam setiap gejolak sosial yang mengatasnamakan agama.
Disisi lain, NU sebagai wadah para ulama dengan kekayaan atas ragam keilmuannya dapat dengan sigap memberikan arahan-arahan yang justru memberikan dampak kedamaian dan tidak mudah terpancing oleh emosi-emosi yang menyulut kebencian umat.
Inilah tantangan terbesar NU kedepan, menjadi ormas keagamaan yang selalu hadir menjadi “penengah” disaat umat dilanda kegalauan serta menjadi penuntun agar umat tidak terlalu jauh berlabuh dan mengembalikan umat ke posisi yang benar-benar berada “ditengah”. Selamat Harlah NU ke-91, semoga pesan dan gagasan Islam Nusantara yang moderat dapat sampai kepada umat!
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H