Meskipun prinsip Islam moderat yang dikomandoi NU nampak pasang-surut ditengah terpaan berbagai isu sosial-politik yang terus menerus menggerus zaman. Menguatnya kembali fundamentalisme dan konservatisme Islam belakangan ini akibat sentimen Barat terhadap Islam telah merubah sedikit banyak cara pandang warga NU terhadap dunia politik-kekuasaan.
Dalam konteks kekinian, gejala pertumbuhan konservatisme atau fundamentalisme juga merambah NU dan Muhammadiyah yang selama ini dianggap sebagai corong Islam moderat.
Hari Lahir NU ke 91 yang diperingati di Gedung PBNU, Jakarta, nampaknya bisa menjadi momen penting untuk menguatkan dan memposisikan kembali NU sebagai penggagas utama “jalan tengah” Islam yang saat ini dinilai sangat mendesak.
Bagaimana tidak, ditengah kondisi bangsa Indonesia yang kurang kondusif belakangan melalui tumbuhkembangnya kebencian terhadap segala hal yang berbeda, munculnya gerakan antiintelektualisme dengan mengedepankan fanatisme berlebihan terhadap simbolisasi agama dan lupa terhadap substansi keagamaan itu sendiri, mendesak bagi NU untuk terus memperkuat warisan moderasi Islam yang sudah sejak lama ditanamkan. NU sejauh ini dinilai memiliki kemampuan untuk memperlihatkan wajah Islam moderat, akomodatif, toleran yang sesuai dengan cita-cita sebagai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Sebagai gerbong yang mewadahi puluhan jutaan umat Islam di seluruh Nusantara yang mengakar, NU memiliki dan sukses menanamkan kultur keagamaan yang ramah dan jauh dari sikap provokatif yang jauh tertanam dalam lubuk hati para pengikutnya secara kultural.
Oleh karenanya, gagasan Islam Nusantara yang dicetuskan NU, sesungguhnya memiliki nilai-nilai humanisme, pluralisme dan cenderung akomodatif terhadap segala perbedaan dalam ranah sosial-politik. Islam Nusantara sebenarnya hendak menunjukkan bahwa Ke-NU-an, Keislaman dan Kebhinekaan yang telah mengkristal dalam sejarah bangunan Nusantara merupakan warisan keagamaan yang dibawa oleh para ulama yang selama ini menjadi panutan warga Nahdliyyin.
Sehingga, Islam tidak bertentangan dengan tradisi apapun, tetapi Islam dapat mewarnai dan memberi manfaat terhadap bentuk bangunan sosial-kenegaraan, termasuk Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Slogan Islam Nusantara yang digaungkan NU secara tidak langsung merupakan kritik terhadap kelompok tertentu yang masih mempermasalahkan keragaman dan cenderung mengedepankan simbol-simbol keagamaan yang justru bertolak belakang dengan substansi ajaran Islam itu sendiri.
Sejauh ini, upaya NU dalam menjaga kekondusifan berbangsa dan berbegara tampak lebih didahulukan mengingat bahwa jika suasana tidak kondusif yang menguat, maka kerusakan dan kehancuran solidaritas sosial akan lebih mudah terjadi. Inilah yang selalu dipegang oleh NU melalui adagium fiqh-nya yang terkenal, “dar’u al-mafaasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada membangun kemaslahatan).
Asumsi saya, ditengah menguatnya iklim fundamentalisme dan konservatisme Islam yang mempertontonkan kejumudan, taklid buta terhadap kelompok, antiintelektualisme dan intoleran terhadap perbedaan pemikiran dan pendapat bahkan sangat mudahnya sentimen keagamaan dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat, NU sudah sepatutnya tampil menjadi “penengah” sehingga mampu meredam setiap gejolak sosial yang mengatasnamakan agama.
Disisi lain, NU sebagai wadah para ulama dengan kekayaan atas ragam keilmuannya dapat dengan sigap memberikan arahan-arahan yang justru memberikan dampak kedamaian dan tidak mudah terpancing oleh emosi-emosi yang menyulut kebencian umat.