Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Budaya "Hoax" dan Peningkatan Kebodohan Kita

4 Januari 2017   12:28 Diperbarui: 4 Januari 2017   14:02 3275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seakan telah menjadi sebuah fakta sosial, penyebaran dan kegemaran masyarakat terhadap berita palsu yang belum tentu memiliki kebenaran justru menjadi konsumsi dan kebiasaan sehari-hari sehingga kegiatan “saling sebar” berita palsu (hoax) telah membudaya menjadi bagian dari “gaya hidup” yang dijalankan baik dengan paksaan (coercion) atau tidak.

Sebuah fakta sosial umumnya ditengarai oleh suatu sikap masyarakat yang terbentuk secara berkala, dimana setiap individu bersama-sama “memaksa” individu lainnya untuk berbuat secara sama sesuai dengan suatu  kebiasaan masyarakat. Paling tidak, jika melihat kepada tren pengguna internet di Indonesia yang mencapai 132,7 juta orang, maka kurang lebih 50 persen penduduk Indonesia rentan terpapar penyebaran berita palsu yang dilakukan secara viral dan berantai terutama yang disebar secara massif melalui media sosial.

Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan, tahun 2016 yang baru saja lewat, merupakan tahun di mana maraknya berita-berita palsu yang tersebar sedemikian rupa, menjadi viral di media sosial dan kemudian membentuk opini dan mengubah mindset banyak orang dalam menerima dan mengolah sebuah informasi. Yang lebih mengherankan, konten berita palsu yang sedemikian massif kemudian “dibiarkan” dan tanpa sadar telah meningkatkan kebodohan dalam masyarakat. 

Jika dulu konten-konten hoax lebih banyak muncul dari informasi seputar investasi dan kesehatan, kini hoax lebih banyak tersebar untuk konten-konten agama dan politik. Kita mungkin tahu dan sadar, betapa mudahnya kita membenci atau mendukung seseorang atau kelompok lain hanya karena sebuah berita yang di-hoax tanpa melakukan proses klarifikasi terlebih dahulu. S

aya kira, isu-isu seputar agama dan politik belakangan menjadi konsumsi pemberitaan yang paling menarik sehingga mudah sekali bagi siapapun dengan latar belakang tertentu membuat berita palsu dan menyebarkannya.

Yang agak lebih mengherankan adalah bahwa sebagian banyak berita hoax yang menyangkut isu-isu agama (Islam) yang kemudian menjadi viral di media sosial dianggap sebagai sebuah ajang dakwah bagi sekelompok orang. Mereka beranggapan, menyebarkan berita tertentu yang padahal belum sepenuhnya teruji dan terklarifikasi kebenarannya justru disebarkan dan dianggap sebagai bagian dakwah menurut mereka. 

Padahal, ajaran Islam sendiri telah mengultimatum secara tegas, bahwa pembuat berita palsu dan mereka yang menyebarkannya masuk dalam kategori “fahisyah” atau perbuatan tercela yang secara nalar maupun nurani dinilai memicu keburukan atau kerusakan. 

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) tentang perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Tuhan  Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,” (QS Annuur: 19).

Konten berita yang dibumbui hoax mungkin akan lebih banyak lagi ketika menyangkut isu-isu politik. Hampir semua pejabat negara, politisi, tokoh agama bahkan presiden sekalipun nampaknya sudah menjadi bulan-bulanan berita hoax, baik yang beredar di media sosial atau aplikasi grup percakapan dengan memanfaatkan teknologi jaringan internet. 

Informasi yang bernuansa viral justru semakin sulit dibendung penyebarannya sehingga banyak yang kesulitan atau keengganan melakukan konfirmasi menyeluruh terhadap konten pembawa berita-berita palsu tersebut. 

Melek (literasi) terhadap informasi yang tersebar di berbagai media nampaknya cukup sulit diwujudkan karena memang rata-rata masyarakat Indonesia tidak seluruhnya mengenyam pendidikan tinggi secara merata. Mudahnya tersebar dan menyebarkan konten yang disisipi hoax lebih diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan para penyebar konten hoax tersebut.

Tentu kita pun akan terheran-heran dengan sebagian orang yang memiliki keinginan yang sangat kuat agar berita-berita palsu ini justru bisa tersebar secara luas dan membentuk opini dalam masyarakat. Menerima sebuah informasi tanpa filter dan kemudian menyebarkannya ke pihak lain tanpa didahului oleh check and recheck justru adalah sebuah kebodohan dan kita terjebak dalam praktek menanamkan pembodohan kepada masyarakat. 

Walaupun, sebenarnya yang lebih berbahaya adalah si penerima konten yang tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu terhadap informasi yang diterimanya kemudian langsung disebarkan. 

Dalam tradisi Islam, pembuat dan penyebar berita palsu (hoax) di sebut sebagai generasi “qiila wa qoola” yaitu generasi yang gemar turut campur terhadap kabar orang lain, menyampaikan informasi yang tak diketahui sendiri dan menceritakan semua yang ia dengar tanpa proses peninjauan akurasi data dan fakta.

Memang kita harus akui, bahwa para “muhibbin” (pencinta) berita palsu ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh iklim literasi pendidikan tetapi juga oleh latar belakang lain, seperti ekonomi atau sekedar bersenang-senang. Dalam dunia internet, kita mengenal sistem pembayaran dengan mengandalkan klik, dimana perklik kita dihargai sekian rupiah. Dalam sebuah informasi yang saya dapat dari salah satu media konvensional, harga 100 ribu klik adalah setara dengan Rp 1,3 juta. 

Ini tentu menggiurkan, ketika misalnya si pengunggah berita palsu membuat judul berita dengan nada provokatif agar para pengguna internet tertarik untuk sekedar mengklik laman tersebut. Perihal berita hoax tidak hanya menyebar di Tanah Air saja, bahkan telah mendunia. 

Negara yang literasi pendidikannya tinggi seperti Amerika sekalipun, menurut informasi dari sebuah lembaga survey Ipsos Public Affairs ternyata 75 persen warganya justru percaya terhadap berita hoax yang tersebar secara viral. Belum lagi para penyebar berita hoax yang memang dibayar secara profesional dengan bayaran yang tinggi hanya untuk kepentingan kelompok atau afiliasi politik tertentu.

Saya kira, penyebaran berita palsu atau hoax sudah sangat mengkhawatirkan di negeri ini, bahkan seakan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Itu sebabnya, Presiden Joko Widodo pada 29 Desember tahun lalu menggelar rapat terbatas secara khusus guna membahas dan menangkal bahaya informasi palsu alias hoax yang banyak beredar terutama di media sosial. 

Saya kira memang perlu ketegasan soal hukuman yang harus diterima oleh para penyebar hoax tersebut, karena bagaimanapun mudahnya penyebaran informasi palsu semakin banyak merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara bukannya mencerdaskan atau membangun. 

Perbedaan yang tajam dalam masyarakat sehingga membelah dan mengkotak-kotakan masyarakat justru umumnya dibangun oleh maraknya informasi palsu yang beredar yang justru dianggap “kebenaran” oleh sebagian masyarakat. Padahal, hanya dengan mengabaikan informasi palsu saja, sebenarnya kita telah menjadi bagian dalam rangka mencerdaskan masyarakat apalagi kita mampu melakukan counter terhadap maraknya penyebaran infomasi palsu tersebut dengan membuat konten yang edukatif, memiliki nilai kebaikan dan jauh dari ujaran-ujaran kebencian atau provokatif.

Para penyebar berita palsu ibarat “nabi-nabi” yang sengaja menyebarkan berita kebohongan untuk menutupi kebenaran dari ajaran para nabi yang sesungguhnya. Istilah “nabi” dalam terminologi Bahasa Arab adalah “pembawa berita” dan umumnya berita yang mereka bawa adalah kebenaran dan kebaikan yang justru akan membawa umat manusia dari “kebodohan” ke alam pemikiran yang mencerdaskan. 

Para penyebar hoax bisa saja dikategorikan sebagi “nabi palsu” di abad modern yang kegemarannya adalah menyebar berita-berita bohong dengan tujuan “membodohi” masyarakat dan yang lebih parah mengadu domba masyarakat agar mereka kemudian berpaling dari kebenaran yang sesungguhnya. Sebarkanlah kedamaian dan kebenaran walaupun itu terasa pahit, karena obat yang dirasa getir justru lambat laun dapat menyembuhkan!

Wallahu a'lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun