Seakan telah menjadi sebuah fakta sosial, penyebaran dan kegemaran masyarakat terhadap berita palsu yang belum tentu memiliki kebenaran justru menjadi konsumsi dan kebiasaan sehari-hari sehingga kegiatan “saling sebar” berita palsu (hoax) telah membudaya menjadi bagian dari “gaya hidup” yang dijalankan baik dengan paksaan (coercion) atau tidak.
Sebuah fakta sosial umumnya ditengarai oleh suatu sikap masyarakat yang terbentuk secara berkala, dimana setiap individu bersama-sama “memaksa” individu lainnya untuk berbuat secara sama sesuai dengan suatu kebiasaan masyarakat. Paling tidak, jika melihat kepada tren pengguna internet di Indonesia yang mencapai 132,7 juta orang, maka kurang lebih 50 persen penduduk Indonesia rentan terpapar penyebaran berita palsu yang dilakukan secara viral dan berantai terutama yang disebar secara massif melalui media sosial.
Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan, tahun 2016 yang baru saja lewat, merupakan tahun di mana maraknya berita-berita palsu yang tersebar sedemikian rupa, menjadi viral di media sosial dan kemudian membentuk opini dan mengubah mindset banyak orang dalam menerima dan mengolah sebuah informasi. Yang lebih mengherankan, konten berita palsu yang sedemikian massif kemudian “dibiarkan” dan tanpa sadar telah meningkatkan kebodohan dalam masyarakat.
Jika dulu konten-konten hoax lebih banyak muncul dari informasi seputar investasi dan kesehatan, kini hoax lebih banyak tersebar untuk konten-konten agama dan politik. Kita mungkin tahu dan sadar, betapa mudahnya kita membenci atau mendukung seseorang atau kelompok lain hanya karena sebuah berita yang di-hoax tanpa melakukan proses klarifikasi terlebih dahulu. S
aya kira, isu-isu seputar agama dan politik belakangan menjadi konsumsi pemberitaan yang paling menarik sehingga mudah sekali bagi siapapun dengan latar belakang tertentu membuat berita palsu dan menyebarkannya.
Yang agak lebih mengherankan adalah bahwa sebagian banyak berita hoax yang menyangkut isu-isu agama (Islam) yang kemudian menjadi viral di media sosial dianggap sebagai sebuah ajang dakwah bagi sekelompok orang. Mereka beranggapan, menyebarkan berita tertentu yang padahal belum sepenuhnya teruji dan terklarifikasi kebenarannya justru disebarkan dan dianggap sebagai bagian dakwah menurut mereka.
Padahal, ajaran Islam sendiri telah mengultimatum secara tegas, bahwa pembuat berita palsu dan mereka yang menyebarkannya masuk dalam kategori “fahisyah” atau perbuatan tercela yang secara nalar maupun nurani dinilai memicu keburukan atau kerusakan.
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) tentang perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Tuhan Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,” (QS Annuur: 19).
Konten berita yang dibumbui hoax mungkin akan lebih banyak lagi ketika menyangkut isu-isu politik. Hampir semua pejabat negara, politisi, tokoh agama bahkan presiden sekalipun nampaknya sudah menjadi bulan-bulanan berita hoax, baik yang beredar di media sosial atau aplikasi grup percakapan dengan memanfaatkan teknologi jaringan internet.
Informasi yang bernuansa viral justru semakin sulit dibendung penyebarannya sehingga banyak yang kesulitan atau keengganan melakukan konfirmasi menyeluruh terhadap konten pembawa berita-berita palsu tersebut.
Melek (literasi) terhadap informasi yang tersebar di berbagai media nampaknya cukup sulit diwujudkan karena memang rata-rata masyarakat Indonesia tidak seluruhnya mengenyam pendidikan tinggi secara merata. Mudahnya tersebar dan menyebarkan konten yang disisipi hoax lebih diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan para penyebar konten hoax tersebut.