Ukuran baik dan buruknya sistem dalam pemerintahan sebuah negara adalah ketika sebagian besar warganegaranya mentaati para pemimpin mereka. Jika ketaatan sudah tidak ditemukan, dipastikan sebuah negara hanya akan mengalami persoalan demi persoalan yang kemudian berdampak terganggunya seluruh sistem yang berjalan dalam sebuah negara tersebut. Berlaku taat kepada pemimpin dalam hal ini sama artinya dengan menciptakan keteraturan dalam segala sistem yang dibangun dan dijalankan oleh negara tersebut.
Keteraturan sebuah masyarakat apalagi negara adalah adanya seorang pemimpin yang ditaati secara sah (legitimated) dan ketiadaan kepemimpinan hanya akan menjadikan kekacauan tak berujung dalam sebuah komunitas sosial. Keberadaan seorang pemimpin dan mentaatinya adalah dua hal yang sangat berkait erat dengan keharmonisan sebuah sistem yang diatur dalam sebuah kelompok masyarakat terlebih negara.
Dalam pandangan Islam, terdapat sebuah adagium yang terkenal, “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, tiada kepemimpinan tanpa ketaatan” (laa Islaama illa biljama’ah wa laa jama’ata illa bi al-imaroh, wala al-immarota illa bi al-tho’ah). Ini artinya bahwa keharusan ada kepemimpinan dalam sebuah komunitas atau kelompok dan ketaatan kepada para pemimpin merupakan satu kesatuan bukan merupakan hal yang terpisah. Dalam ketaatan kepada pemimpin juga tidak ditegaskan apakah taat kepada pemimpin formal (seperti kepala pemerintahan) atau non-formal (pemimpin masyarakat).
Begitu pentingnya ketaatan kepada pemimpin sehingga al-Quran secara tegas menggambarkan bahwa mentaati para pemimpin (ulil amri) termasuk bagian dari rangkaian ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. “Taatilah Allah dan Taatilah Rasul-Nya dan para pemimpin diantara kamu,” (‘athiu Allaha wa ‘athi’u al-rasula wa ulil amri minkum) QS. Annisaa: 59. Walau demikian, ketaatan kepada pemimpin yang dijalankan oleh warganegara bersifat tunduk-pasif (quietist), kerena sepenuhnya sebuah masyarakat atau negara diatur dan diikat oleh hukum-hukum tertentu yang telah disepakati bersama.
Karena kepemimpinan sangat berkait erat dengan kondisi sosial masyarakat, maka seorang pemimpin yang ditaati oleh warganegaranya harus berkait erat dengan keadaan kesejahteraan bagi rakyat atau seluruh kelompok yang dipimpinnya. Kesejahteraan masyarakat akan menjadi kunci pengikat bagi ketaatan warganegara kepada para pemimpinnya, demikian sebaliknya, ketiadaan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh kedzaliman dan kerusakan justru masyarakat harus berbalik melakukan penolakan kepada pemimpin yang berlaku demikian.
Orientasi kesejahteraan yang ada dalam situasi kepemimpinan dijelaskan dalam sebuah adagium terkenal dalam hukum Islam, “tasharraful imam ‘ala al-ra’iyah manuthun bi al-maslahah” (kebijakan dan tindakan seorang pemimpin harus berkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin).
Dalam konteks Indonesia, yang mayoritas masyarakatnya adalah muslim, kita bisa mengukur apakah para pemimpinnya sudah sejalan dengan orientasi kesejahteraan rakyat? Jika telah memenuhi unsur tersebut, maka sudah seharusnya warganegara berlaku taat kepada pemimpinnya. Sejauh ini justru yang kita saksikan adalah muncul penolakan-penolakan yang cukup “keras” dari sebagian kelompok yang entah dengan dasar “kebencian” atau “ketidakcocokan” kepada pemimpin terus menerus memberikan stigma negatif kepada para pemimpin yang ada.
Isu-isu yang diangkat-pun nampaknya bukan pada persoalan ketiadaan kesejahteraan rakyat, tetapi lebih kepada isu-isu lain yang tidak terkait langsung dengan kesejahteraan. Isu-isu mengenai komunisme atau WNA justru malah menguat sebagai isu “utama” dalam upaya “perlawanan” mereka terhadap kondisi kepemimpinan yang ada saat ini.
Hal sebaliknya, jika memang para pemimpin di negeri ini kemudian justru jauh dari upaya mensejahterakan rakyat karena perlakuan mereka yang dzalim atau lebih condong kepada kelompok dan afiliasi politiknya sendiri, maka sudah selayaknyalah masyarakat melakukan “perlawanan” namun tetap dengan mengedepankan etika dan moralitas kemanusiaan yang lebih beradab. Al-Quran menjelaskan, “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melampaui batas. Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak melakukan perbaikan,” (QS al-Syuaraa: 151-152). Batas-batas ketaatan kepada pemimpin dalam ajaran Islam adalah selama para pemimpin yang ada tidak bersikap melampaui batas (dzalim/tidak adil) dan melakukan kegiatan “merusak” dan tidak melakukan perbaikan atas kerusakan yang diperbuat.
Selama para pemimpin tidak melakukan seperti yang digambarkan, maka ketundukan pasif dengan keterikatan terhadap hukum merupakan keharusan demi menciptakan harmonisasi kehidupan sosial kemasyarakatan. Lalu dengan demikian, bisakah pemimpin tidak ditaati atas dasar kebencian atau ketidakcocokan?
Istilah “politik” di negeri ini cenderung memiliki makna “buruk” bahkan orang-orang yang berada dan terkait didalamnya dianggap sebagai bagian dari “kekuatan jahat” (evil force) sehingga kemudian para pemimpin (politik) termasuk presiden dicitrakan begitu buruk oleh kelompok tertentu di negeri ini. Padahal, merujuk kepada ungkapan John F Kennedy, politik justru semestinya dianggap sebagai “karya termulya” karena menyangkut kesejahteraan (lahir-batin) rakyatnya.
Bukankah justru dengan demikian mereka sedang “berpolitik” menginginkan “kekuasaan” dipimpin oleh orang-orang yang mereka “sukai” dan mereka dukung sendiri? Fenomena saling membenci justru sudah merambah hingga mereka yang ada di akar rumput dalam masyarakat, sedemikian kuat menghunjam cara pandang mereka terhadap politik dan kepemimpinan yang saat ini ada.
Sebagai seorang muslim, tentu saya tidak lupa tentang bagaimana sejarah penaklukan Kota Mekkah (fathu Makkah) yang dilakukan Nabi Muhammad setelah membangun kekuatan politiknya di Madinah. Mekkah yang saat itu dikuasai oleh para pemimpin pagan dan dzalim—karena ketiadaan keadilan dan kesejahteraan—kemudian dihancurkan dan digantikan oleh kepemimpinan yang berorientasi kesejahteraan dan keadilan sebagaimana yang dibawa oleh misi kenabian Muhammad.
Peristiwa ini secara politik dimaknai sebagai peruntuhan rezim-rezim yang tidak saleh dan penggantian hirarki-hirarki kekuasaan politik yang tidak sah (unlegitimated). Kita-pun tentu tidak lupa, bahwa tidak ada kekuatan senjata dan pertumpahan darah yang terjadi pada saat terjadinya fathu Makkah oleh Nabi Muhammad, yang ada justru harmonisasi, konsolidasi dan membuat (kembali) aturan-aturan hukum yang lebih berorientasi keadilan dan kesejahteraan.
Bagi saya, taat dan tunduk kepada pemimpin merupakan prasyarat bagi terbentuknya sebuah harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Syarat ketundukan dan kepatuhan tetap berada pada koridor hukum yang berlaku, selama para pemimpin tidak berbuat dzalim kepada rakyat atau melampaui batas sehingga menjauhkan dari prinsip kesejahteraan dan keadilan. Jangan pula berharap para pemimpin ditaati dan dipatuhi warganegaranya jika sudah melenceng jauh dari nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan yang sudah lebih dahulu ditetapkan. Hak warganegara adalah mematuhi dan mentaati para pemimpin dan tentu saja kewajiban para pemipin adalah membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan.
Wallahu ‘alam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H