Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Ibu Sentris" dalam Pemaknaan Sosial

22 Desember 2016   14:12 Diperbarui: 22 Desember 2016   14:24 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah “Ibu” memang tidak hanya selalu terkait dengan wujud fisik seorang perempuan yang melahirkan dan merawat anak-anaknya. Banyak sekali kita temukan istilah “Ibu” yang sedemikian populer bahkan menjadi fakta yang tak terbantahkan dalam berbagai macam sisi kehidupan manusia. Ibu bahkan dikaitkan sengan segala hal yang bermakna sentris dan sangat menentukan. 

Lihat saja misalnya, “Ibu Kota”, “Ibu Jari”, “Ibu Pertiwi” atau “Bahasa Ibu” yang kesemuanya bukan dimaknai secara fisik sebagai seorang perempuan yang melahirkan anak-anaknya, tetapi fungsi dan peran ibu menjadi sedemikian penting dalam banyak hal berkait dengan kehidupan manusia. Ibu seakan menjadi pusat perhatian dan kegiatan bahkan seringkali makna “ibu” menjadi simbol sosial yang paling fundamental. Dengan demikian, seharusnya tidak juga berlaku makna feminitas yang senantiasa dikaitkan dengan ibu, karena peran dan fungsi ibu yang jauh melampaui sekedar persoalan feminin atau maskulin.

Sedemikian pentingnya istilah ibu yang kemudian secara sosio-historis justru menjadi semacam sumber (induk) yang dikonotasikan terhadap beragam hal. Dalam ajaran Islam, misalnya surat al-Fatihah disebut sebagai “ummulkitaab” (induk dari al-Quran) ini dikarenakan surat al-Fatihah selain memiliki kandungan makna yang sangat padat, ia juga merupakan surat yang wajib dibaca dalam setiap sholat oleh umat muslim. Tidak hanya itu, surat ini juga menjadi bagian terpenting dalam setiap rangkaian doa atau tradisi-tradisi keagamaan Islam, seperti tahlilan, kendurian, manaqiban, marhabanan atau lainnya. Oleh karenanya, surat al-Fatihah juga ditempatkan sebagai surat paling pertama yang diletakkan dalam mushaf(lembaran al-Quran), walaupun ia sesungguhnya bukan merupakan surat atau ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Oleh karenanya, dalam kategori non-fisik, istilah ibu seringkali dikaitkan dengan induk (pusat) segala sesuatu yang memiliki nilai sangat penting dan menentukan. Ibu Kota misalnya, selalu identik dengan pusat kota yang penuh dengan keramaian, pusat pergerakan roda ekonomi dan bisnis, pusat pemerintahan dan tempat beradanya sekian banyak kelompok elit dalam sebuah wilayah. 

Penentuan suatu wilayah atau daerah tertentu menjadi ibu kota-pun tak terlepas dari segala hal yang berkait dengan sosio-historis atau sosio-kultural keberadaannya. Tak jauh berbeda dengan Jakarta yang dijadikan Ibu Kota Republik Indonesia, ia memiliki nilai sejarah tersendiri sekaligus magnet sentral bagi seluruh kehidupan ekonomi-politik di wilayah NKRI. Makna non-fisik lainnya adalah “bahasa ibu” yang kemudian dikaitkan dengan bahasa induk atau bahasa bawaan seseorang dimana dia hidup. Bahasa ibu (mother language) juga banyak membentuk karakter budaya, nilai atau norma seseorang dalam sebuah masyarakat, ini dikarenakan bahasa ibu menjadi rujukan fundamental seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Makna “ibu” ternyata memiliki ruang sangat penting dalam sejarah kemanusiaan, baik secara fisik maupun non-fisik. Berapa banyak adagium yang menyertakan “ibu” sebagai bagian yang terpenting dalam kehidupan seseorang. Seperti dalam sebuah syair, “kasih ibu sepanjang masa” seakan menunjukkan bahwa tidak ada kasih yang abadi di dunia ini selain dari kasih seorang ibu kepada anak-anaknya. Saya kira sudah terlalu banyak cerita yang menginspirasi dari kasih sepanjang masa-nya seorang ibu yang khalayak sudah sedemikian tahu dan terbiasa. Bahkan, uniknya akun yang kita miliki misalkan di bank-bank konvensional, nama ibu selalu menjadi “kata kunci” (keyword) untuk menentukan kevalidan sebuah transaksi keuangan dan bukan nama bapak. Ini artinya, bahwa fungsi ibu seakan menjadi hal terpenting dalam kegiatan kehidupan sehari-hari.   

Dalam ajaran Islam, seorang ibu justru merupakan sosok yang tingkat penghormatannya oleh seorang muslim jauh melebihi penghormatan kepada sosok ayah. Hal ini dijelaskan oleh sebuah hadits riwayat dari Bukhori-Muslim dimana Rasulullah memberikan penekanan sebanyak tiga kali ketika ditanyakan oleh seorang sahabat mengenai siapa sosok yang harus ditaati dan dihormati. Jawaban Rasulullah, “Ibumu” yang diulang sebanyak tiga kali kemudian baru “ayahmu” merupakan simbol bahwa sosok ibu berada pada posisi paling penting dalam sebuah kehidupan keluarga. 

Ini selaras dengan kondisi dimana seorang ibu mengalami tiga hal yang sungguh berat pekerjaannya dibanding seorang ayah, yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya. Kondisi yang memberatkan seorang ibu dibanding seorang ayah kemudian menjadi alasan mengapa penghormatan dan penghargaan kepada seorang ibu justru memiliki posisi “lebih” sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah.

Walau demikian, fungsi dan peran ibu sebagai “sosok sentral” dalam beragam sisi kehidupan manusia nampaknya sedikit mengalami pergeseran. Secara fisik, ibu yang dahulu disebut-sebut mengalami tingkat kepayahan yang sangat berat ketika harus mengandung, melahirkan dan menyusui, kini tergantikan oleh kecanggihan teknologi dimana proses-proses kepayahan justru dapat diminimalisir. Bagaimana tidak, proses melahirkan yang disebut-sebut sebagai perjuangan seorang ibu melawan hidup, justru dengan teknologi “cesar” kelihatannya melahirkan sudah tidak lagi sebuah “perjuangan”. 

Belum lagi maraknya susu formula dipasaran dengan berbagai iming-iming kelengkapan nutrisi justru seringkali menggantikan proses menyusui seorang ibu. Saya kira, pemanfaatan teknologi telah serta merta menurunkan fungsi sentral seorang ibu kemudian sehingga bisa saja berdampak pada kualitas “penghormatan” yang memudar dari anak-anaknya. Ibu “modern” belakangan ini malah akan lebih banyak memperhatikan penampilan dirinya dibanding fokus untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Saya kira, mengembalikan makna “ibu sentris” dalam banyak sisi kehidupan sangatlah penting. Ini karena, ibu memiliki peran sangat dominan dalam menentukan masa depan kehidupan kemanusiaan. Mengangkat “ibu jari” misalnya akan menjadi sebuah penghargaan tersendiri bagi sesorang, berbeda halnya ketika yang diangkat “jari tengah” atau “jari kelingking” yang lebih berkonotasi penghinaan. 

Menjadikan “Ibu Kota” sebagai contoh dan teladan bagi daerah-daerah sekitarnya akan berdampak kebaikan berbeda ketika justru Ibu Kota memberikan contoh tidak baik yang justru memiliki efek “meniru” bagi daerah-daerah yang lainnya. Demikian dengan seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya yang senantiasa mendapat penghormatan dan penghargaan karena seorang ibu juga fokus dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Seorang ibu yang hebat sudah tentu menghasilkan anak yang hebat pula, begitupun sebaliknya. Disinilah saya kira makna “ibu sentris” yang sangat berpengaruh terhadap maju mundurnya peradaban kemanusiaan.

Saya teringat akan sebuah adagium Arab, “Anisaau ‘imaadul bilad, idza sholuhat sholuhal bilaad wa idza fasadat fasadal bilaad” (ibu adalah tiang negara, ketika ia baik maka baiklah negara, ketika ia rusak, maka rusak pulalah negara). Peran dan fungsi ibu tidak hanya berdampak pada keluarga kecil yang dimilikinya, tetapi jauh lebih besar, dimana negara justru bisa maju dan kuat ketika peran dan fungsi seorang ibu bisa membawa kebaikan dan manfaat untuk negaranya. 

Mengapa demikian? Kita tentu bisa melihat bahwa kerusakan dan dekadensi moral anak-anak saat ini justru karena peran para ibu yang kurang baik terhadap anak-anaknya. Maka wajar, jika generasi seperti ini justru pada akhirnya berpengaruh terhadap jatuh-bangunnya sebuah bangsa dan negara dan itu merupakan akibat gagalnya peran sentral seorang ibu dalam keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun