Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Atribut Keagamaan dan Fatwa MUI

21 Desember 2016   12:38 Diperbarui: 21 Desember 2016   12:53 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwanya mengenai keharaman umat muslim menggunakan atribut non-muslim, terutama ditengah semakin dekatnya Hari Raya umat Kristiani, yaitu Natal. Pemandangan “atribut keagamaan” jelang Natal seakan menjadi “budaya” yang dilakukan pemeluk lain agama (Islam) sehingga dikhawatirkan justru ada “pemaksaan” dan “percampuran” keyakinan agama oleh pihak lain. 

Sasaran yang dituju sesungguhnya adalah mereka yang bekerja pada sektor publik, seperti tempat-tempat perbelanjaan, bank-bank atau lainnya yang berhubungan dengan publik banyak yang sepertinya “dipaksakan” oleh pihak pengelola agar para karyawannya memakai “atribut keagamaan” jelang Hari Besar Keagamaan. 

Padahal, kebanyakan para pegawai muslim tentu merasa keberatan dengan aturan yang diberlakukan tersebut, mengingat bahwa dalam ajaran Islam telah mengatur soal larangan tasyabbuh (atribusi) yang menyerupai atau mirip kelompok tertentu atau agama lain, baik dalam hal kemiripan sikap, prilaku, budaya, ucapan tertentu dan apalagi jika kemiripan soal beribadah.

Perihal larangan bersikap tasyabbuh kemungkinan besar didasari oleh sebuah hadis riwayat Abu Daud yang berasal dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah besabda, “siapa yang bertasyabbuh (beratribusi, berpakaian seperti) salah satu kelompok atau kaum, maka dia adalah bagian dari mereka,”. Pendapat para ulama terdapat perbedaan mengenai tasyabbuh ini. 

Ada yang menganggap haram (larangan tegas) dan ada yang menganggap sekedar makruh (kalau bisa dihindari). Ibnu Umar sendiri sebagai penerima hadis ini secara langsung dari Nabi, menyebutkan bahwa fakta historis (asbabulwurud) hadis ini muncul karena Nabi sebelumnya melarang bangsa Arab untuk mengikuti dalam hal atribusi yang menyerupai bangsa lain yang non-Arab (naha ‘ani al-ttasyabbuh bil a’jaam). 

Hal inilah kemudian yang membuat ada sebagian ulama berpendapat bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim, seperti berpakaian atau atribut lainnya hanya dikategorikan makruh, tidak sampai kepada larangan yang diharamkan dengan bersandar pada situasi historis tersebut.

Prinsip larangan tasyabbuh juga berkaitan dengan surat al-Maidah ayat 51, yang diantara ayatnya menyebut, “siapa saja yang mengambil mereka (Yahudi atau Nasrani) sebagai wali, maka orang itu  telah masuk menjadi golongannya” (wa man yatawaalahum minkum fainnahu minhum). Menurut Rasyid Ridlo sebagaimana dikutip dalam tafsir al-Manar menyebutkan bahwa, ayat ini sesunggunya berkaitan erat dengan perjanjian yang kemudian dilanggar oleh kelompok Yahudi dan Nasrani dengan umat muslim, sehingga mengambil mereka sebagai wali, berhukum dengan aturan yang mereka buat sendiri atau bersikap atau berprilaku menyerupai mereka adalah jelas dilarang. 

Adapun jika mereka kemudian tidak berada dalam kondisi demikian (melanggar perjanjian) dan demi menegakkan kemaslahatan umat, maka tidak termasuk dalam keumuman ayat tersebut. Dengan demikian melakukan kerjasama (mu’amalah) dalam bidang sosial-kemanusiaan tanpa mencampuradukkan (takholath) prinsip aqidah dan keagamaan tidak termasuk dalam konteks ayat tersebut, karena Rasulullah pun bekerjasama dengan non-muslim dalam bidang mu’amalah.

Fatwa MUI No 16 tahun 2016 tentang larangan penggunaan atribut keagamaan non-muslim ini kemudian menjadi perbincangan khalayak, baik di media konvensional maupun sosial. Persoalan ini menjadi sangat sensitif ditengah kondisi kebangsaan kita yang belakangan kurang kondusif akibat diterpa isu-isu yang cenderung bernuansa SARA sampai kepada persoalan kasus penistaan agama yang cukup banyak menghabiskan energi bangsa ini. 

Sehingga wajar jika kemudian sebuah fatwa yang semestinya “tidak mengikat” bagi umat muslim, jusrtu menjadi diskursus viral di berbagai media. Fatwa sebenarnya merupakan pendapat atau sikap keagamaan, berupa himbauan atau arahan yang dapat dipedomani oleh kalangan umat muslim. Dengan demikian, fatwa sebenarnya tidak mengikat layaknya sebuah aturan hukum yang wajib diikuti. Meskipun demikian, fatwa harus dihormati dan dijadikan petunjuk bagi siapapun umat muslim dalam mengapresiasikan sikap keagamaannya.

Rujukan keagamaan soal pelarangan menggunakan atribut non-muslim yang difatwakan MUI tidak pula disikapi oleh sebagian ormas Islam sebagai “alat politis” untuk melakukan tindakan “pemaksaan” bahkan “sweeping” terhadap mereka yang masih memaksakan penggunaan atribut non-muslim kepada umat muslim. Saya pribadi sangat apresiasi terhadap dikeluarkannya fatwa MUI  tersebut, karena bisa jadi para ulama memiliki kekhawatiran tentang praktek penggunaan atribut agama lain ini akan justru akan mencampuradukkan antara keyakinan beragama (aqidah) yang berbeda yang dianggap sebagai suatu “budaya”. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun