Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwanya mengenai keharaman umat muslim menggunakan atribut non-muslim, terutama ditengah semakin dekatnya Hari Raya umat Kristiani, yaitu Natal. Pemandangan “atribut keagamaan” jelang Natal seakan menjadi “budaya” yang dilakukan pemeluk lain agama (Islam) sehingga dikhawatirkan justru ada “pemaksaan” dan “percampuran” keyakinan agama oleh pihak lain.
Sasaran yang dituju sesungguhnya adalah mereka yang bekerja pada sektor publik, seperti tempat-tempat perbelanjaan, bank-bank atau lainnya yang berhubungan dengan publik banyak yang sepertinya “dipaksakan” oleh pihak pengelola agar para karyawannya memakai “atribut keagamaan” jelang Hari Besar Keagamaan.
Padahal, kebanyakan para pegawai muslim tentu merasa keberatan dengan aturan yang diberlakukan tersebut, mengingat bahwa dalam ajaran Islam telah mengatur soal larangan tasyabbuh (atribusi) yang menyerupai atau mirip kelompok tertentu atau agama lain, baik dalam hal kemiripan sikap, prilaku, budaya, ucapan tertentu dan apalagi jika kemiripan soal beribadah.
Perihal larangan bersikap tasyabbuh kemungkinan besar didasari oleh sebuah hadis riwayat Abu Daud yang berasal dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah besabda, “siapa yang bertasyabbuh (beratribusi, berpakaian seperti) salah satu kelompok atau kaum, maka dia adalah bagian dari mereka,”. Pendapat para ulama terdapat perbedaan mengenai tasyabbuh ini.
Ada yang menganggap haram (larangan tegas) dan ada yang menganggap sekedar makruh (kalau bisa dihindari). Ibnu Umar sendiri sebagai penerima hadis ini secara langsung dari Nabi, menyebutkan bahwa fakta historis (asbabulwurud) hadis ini muncul karena Nabi sebelumnya melarang bangsa Arab untuk mengikuti dalam hal atribusi yang menyerupai bangsa lain yang non-Arab (naha ‘ani al-ttasyabbuh bil a’jaam).
Hal inilah kemudian yang membuat ada sebagian ulama berpendapat bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim, seperti berpakaian atau atribut lainnya hanya dikategorikan makruh, tidak sampai kepada larangan yang diharamkan dengan bersandar pada situasi historis tersebut.
Prinsip larangan tasyabbuh juga berkaitan dengan surat al-Maidah ayat 51, yang diantara ayatnya menyebut, “siapa saja yang mengambil mereka (Yahudi atau Nasrani) sebagai wali, maka orang itu telah masuk menjadi golongannya” (wa man yatawaalahum minkum fainnahu minhum). Menurut Rasyid Ridlo sebagaimana dikutip dalam tafsir al-Manar menyebutkan bahwa, ayat ini sesunggunya berkaitan erat dengan perjanjian yang kemudian dilanggar oleh kelompok Yahudi dan Nasrani dengan umat muslim, sehingga mengambil mereka sebagai wali, berhukum dengan aturan yang mereka buat sendiri atau bersikap atau berprilaku menyerupai mereka adalah jelas dilarang.
Adapun jika mereka kemudian tidak berada dalam kondisi demikian (melanggar perjanjian) dan demi menegakkan kemaslahatan umat, maka tidak termasuk dalam keumuman ayat tersebut. Dengan demikian melakukan kerjasama (mu’amalah) dalam bidang sosial-kemanusiaan tanpa mencampuradukkan (takholath) prinsip aqidah dan keagamaan tidak termasuk dalam konteks ayat tersebut, karena Rasulullah pun bekerjasama dengan non-muslim dalam bidang mu’amalah.
Fatwa MUI No 16 tahun 2016 tentang larangan penggunaan atribut keagamaan non-muslim ini kemudian menjadi perbincangan khalayak, baik di media konvensional maupun sosial. Persoalan ini menjadi sangat sensitif ditengah kondisi kebangsaan kita yang belakangan kurang kondusif akibat diterpa isu-isu yang cenderung bernuansa SARA sampai kepada persoalan kasus penistaan agama yang cukup banyak menghabiskan energi bangsa ini.
Sehingga wajar jika kemudian sebuah fatwa yang semestinya “tidak mengikat” bagi umat muslim, jusrtu menjadi diskursus viral di berbagai media. Fatwa sebenarnya merupakan pendapat atau sikap keagamaan, berupa himbauan atau arahan yang dapat dipedomani oleh kalangan umat muslim. Dengan demikian, fatwa sebenarnya tidak mengikat layaknya sebuah aturan hukum yang wajib diikuti. Meskipun demikian, fatwa harus dihormati dan dijadikan petunjuk bagi siapapun umat muslim dalam mengapresiasikan sikap keagamaannya.
Rujukan keagamaan soal pelarangan menggunakan atribut non-muslim yang difatwakan MUI tidak pula disikapi oleh sebagian ormas Islam sebagai “alat politis” untuk melakukan tindakan “pemaksaan” bahkan “sweeping” terhadap mereka yang masih memaksakan penggunaan atribut non-muslim kepada umat muslim. Saya pribadi sangat apresiasi terhadap dikeluarkannya fatwa MUI tersebut, karena bisa jadi para ulama memiliki kekhawatiran tentang praktek penggunaan atribut agama lain ini akan justru akan mencampuradukkan antara keyakinan beragama (aqidah) yang berbeda yang dianggap sebagai suatu “budaya”.
Atribusi yang dipergunakan oleh non-muslim menyangkut Natal tidak menyangkut soal budaya Indonesia, tetapi lebih merupakan atribut keagamaan yang dimiliki kelompok agama lain. Ini artinya, jika seorang muslim “dipaksa” untuk memakai atribut agama lain, maka dikhawatirkan sama dengan mengikuti perihal “ibadah” yang sedang mereka lakukan. Inilah barangkali yang menjadi kekhawatiran para ulama yang tergabung dalam MUI, agar umat muslim tidak mencampuradukkan keyakinan agama lain dengan keyakinan agama yang mereka miliki.
Sejauh ini, ajaran Islam memang telah mengatur berbagai macam hal, termasuk didalamnya persoalan bagaimana bekerjasama atau sosialisasi dalam hal kemanusiaan dengan penganut keyakinan atau agama lain. Telah sejak awal, Islam sangat menganjurkan untuk saling bekerjasama dan saling mengenal dengan siapapun umat manusia di bumi ini. Penegasan mengenai hal ini dijelaskan al-Quran, “Hai manusiasesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal,” (QS al-Hujaraat: 13).
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bagaimana Tuhan menciptakan manusia dari yang hanya sepasang (suami-istri) kemudian menjadi kelompok-kelompok sampai akhirnya membentuk koloni yang lebih besar, yaitu bangsa. Diciptakannya manusia tidak lain agar mereka bisa saling kenal mengenal, bekerjasama, bersosialisasi dengan siapapun, tanpa harus terikat oleh agama, budaya, keyakinan atau kepentingan apapun.
Prinsip “ta’aruf” (saling mengenal) yang disebutkan al-Quran justru merupakan sebuah terobosan baru, dimana pada waktu itu, marak terjadi penjajahan manusia atas manusia lainnya atau penguasaan satu kelompok atau bangsa satu kepada bangsa lainnya dan Islam mengajarkan agar sesama manusia saling mengenal (ta’aruf) sehingga bisa terbentuk kerjasama sosial-kemanusiaan yang lebih luas.
Prinsip ini juga didasarkan pada adagium “maslahah ‘aammah” atau kemaslahatan umum yang senantiasa menjadi orientasi kesejahteraan masyarakat dalam ajaran Islam. Inilah seharusnya yang menjadi objek utama dalam pengambilan setiap keputusan yang diambil pemerintah termasuk MUI.
Pentingnya melakukan reinterpretasi terhadap diktum-diktum keagamaan (Islam) harus lebih mendahulukan prinsip-prinsip kemaslahatan dan lebih banyak menghindari hal-hal yang yang justru akan menjadi pemicu ketidak kondusifan atau kerusakan kondisi umat pada akhirnya. Saya kira, esensi Islam yang sesungguhnya tidaklah terletak pada pakaian atau atribut yang dikenakan, melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H