Atribusi yang dipergunakan oleh non-muslim menyangkut Natal tidak menyangkut soal budaya Indonesia, tetapi lebih merupakan atribut keagamaan yang dimiliki kelompok agama lain. Ini artinya, jika seorang muslim “dipaksa” untuk memakai atribut agama lain, maka dikhawatirkan sama dengan mengikuti perihal “ibadah” yang sedang mereka lakukan. Inilah barangkali yang menjadi kekhawatiran para ulama yang tergabung dalam MUI, agar umat muslim tidak mencampuradukkan keyakinan agama lain dengan keyakinan agama yang mereka miliki.
Sejauh ini, ajaran Islam memang telah mengatur berbagai macam hal, termasuk didalamnya persoalan bagaimana bekerjasama atau sosialisasi dalam hal kemanusiaan dengan penganut keyakinan atau agama lain. Telah sejak awal, Islam sangat menganjurkan untuk saling bekerjasama dan saling mengenal dengan siapapun umat manusia di bumi ini. Penegasan mengenai hal ini dijelaskan al-Quran, “Hai manusiasesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal,” (QS al-Hujaraat: 13).
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bagaimana Tuhan menciptakan manusia dari yang hanya sepasang (suami-istri) kemudian menjadi kelompok-kelompok sampai akhirnya membentuk koloni yang lebih besar, yaitu bangsa. Diciptakannya manusia tidak lain agar mereka bisa saling kenal mengenal, bekerjasama, bersosialisasi dengan siapapun, tanpa harus terikat oleh agama, budaya, keyakinan atau kepentingan apapun.
Prinsip “ta’aruf” (saling mengenal) yang disebutkan al-Quran justru merupakan sebuah terobosan baru, dimana pada waktu itu, marak terjadi penjajahan manusia atas manusia lainnya atau penguasaan satu kelompok atau bangsa satu kepada bangsa lainnya dan Islam mengajarkan agar sesama manusia saling mengenal (ta’aruf) sehingga bisa terbentuk kerjasama sosial-kemanusiaan yang lebih luas.
Prinsip ini juga didasarkan pada adagium “maslahah ‘aammah” atau kemaslahatan umum yang senantiasa menjadi orientasi kesejahteraan masyarakat dalam ajaran Islam. Inilah seharusnya yang menjadi objek utama dalam pengambilan setiap keputusan yang diambil pemerintah termasuk MUI.
Pentingnya melakukan reinterpretasi terhadap diktum-diktum keagamaan (Islam) harus lebih mendahulukan prinsip-prinsip kemaslahatan dan lebih banyak menghindari hal-hal yang yang justru akan menjadi pemicu ketidak kondusifan atau kerusakan kondisi umat pada akhirnya. Saya kira, esensi Islam yang sesungguhnya tidaklah terletak pada pakaian atau atribut yang dikenakan, melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H